Wednesday, April 13, 2016

Sahabat (pertamaku) di masa lalu


Ketika aku kecil, aku menemukan seseorang yang mungkin bisa menjadi sahabatku. Dia mengerti akan diriku. Perkembanganku, pertumbuhan tubuhku, dan menyediakan semua hal yang kubutuhkan. Dia menyiapkan semuanya. Melindungku dari gangguan kecil seperti bakteri atau virus yang ingin menyerangku. Dia bagaikan sistem imun di tubuhku. Siapa yang menyangka umurnya tidaklah panjang. Orang itu bahkan belum merasakan arti sebuah kehidupan. Dia tidak tahu bagaimana diriku menjalani dunia ini dengan sedikit kelicikan.

Hey, kamu yang belum sempat kuberi nama. Apa kamu baik-baik saja di sana? 

Di usiaku yang sudah dewasa, kucoba mencari beberapa ingatan tentangnya. Kutanyakan pada Ayah dan Ibu, jawaban mereka hanya sebuah keheningan. Pernah aku menyerah, melupakannya dan pergi dengan kesibukanku memainkan beberapa peran yang kusuka. Namun, di saat matahari mulai bersembunyi dan langit berubah hitam, aku kembali memikirkannya.

Bagaimana aku bisa melupakan sahabat pertama dalam hidupku?

Dalam beberapa hal aku berpikir. Kenapa Tuhan hanya memberikan ruh itu padaku? Kenapa Tuhan tidak sekalian memberi ruh itu padanya? Bolehkah aku berpikir begitu? Aku ingin dia juga melihat seperti apa dunia ini. Betapa indah dan misteriusnya kehidupan ini. Betapa banyak warna dari bekas tetesan hujan. Masih banyak hal yang seharusnya juga dia rasakan. 

Namun, mengapa ruh itu hanya ditiupkan padaku?

Saat aku mengingatnya, sahabat pertamaku, sebenarnya yang terjadi adalah aku tidak tahu seberapa kecil aku saat itu. Berapa usiaku saat itu. Apakah aku memperkenalkan diri terlebih dulu atau apa yang paling sering kita bicarakan. Saat itu, aku tidak ingat apakah mataku bisa melihatnya? Apakah tanganku bisa memeluknya? Aku juga tidak bisa mengingat seperti apa dirinya. Yang aku tahu dari cerita orang-orang adalah kedua orang tuaku menguburnya di depan rumah di depan kamarku. Menggantungkan sebuah neon kecil sebagai pertanda keberadaanku. Di saat itu juga dia melindungiku dari kebisingan kota, menjagaku agar tetap nyaman bersama dua malaikat yang selalu menyayangiku. 

Dia melindungiku untuk kedua kaliny, dan aku tetap tidak dapat mengingatnya.

No comments:

Seseorang di kepalaku

Jangan, jangan pergi. Enggak, aku harus pergi. Jangan, kalau aku kesana aku bakal jadi bahan omongan. Ayolah enggak bakal ada yang ...