Hal
yang paling menyebalkan adalah pergi ke kantin saat jam istirahat. Kalau bukan
karena Amel –pacarku– yang ngajak ketemuan, huh... aku males jalan kesana.
Mending ke perpustakaan atau ke lapangan main futsal sama anak-anak.
“Eh,
sayang,” kata Amel mulai curhat, “Tau gak, masa’ si peramal bilang kita bakal
putus gara-gara kamu suka sama cewek lain. Nyebelin gak sih?”
“Si
peramal siapa?” jawabku setengah cuek. Kunikmati saja bakso bu kantin sambil
mendengarkan mulutnya mengoceh.
“Itu
loh, anak indigo yang pernah aku ceritain itu. Masa’ kamu lupa sih?” Amel
memonyongkan bibirnya.
Dari
sejuta ocehannya, mungkin yang masuk ke ingatanku cuman seputar pelajaran, film
dan hobby shoppingnya. Aku mengangguk pura-pura ingat. Bakso bu kantin lebih
menarik perhatianku daripada ceritanya tentang si peramal itu.
“Kamu
dengerin aku gak sih?”
“Huh?
Ya, denger sih. Tapi disini kan rame, jadi agak kurang jelas gitu!”
Mulut
Amel semakin monyong. Dia kelihatan kesal, kayak kambing yang mau disembelih.
Aku tersenyum melihatnya. Mungkin ini yang kusuka darinya. Caranya
mengekspresikan kekesalannya itu begitu lucu dimataku. Bukannya mengumpat tapi
memonyongkan bibirnya seperti platipus. Hahaha... pipinya yang menggembung
membuat wajah chubbynya semakin menggemaskan. Kucubit pipi bakpao itu sampai
Amel mengeluarkan suara manjanya.
“Jadi
kamu percaya?” kataku menanggapi.
“Enggak
lah! Dia kan anak aneh yang lebih suka ngomong sendiri. Apa semua anak indigo
kayak gitu ya?” kata Amel, menyeruput kuah baksoku.
“Mungkin.
Aku gak pernah punya temen anak indigo.”
“Tapi
nih ya, apa yang keluar dari mulutnya itu beneran terjadi loh sayang!” wajah
Amel mulai serius, “Kemarin dia ngomong gini ke bu Janet, ‘Ibu jangan ke kamar
mandi, nanti ibu jatuh!’ dan kamu tau sendiri kan apa yang terjadi sama bu
Janet selanjutnya?”