Saturday, January 30, 2016

The fucking one are called SAHABAT


Mungkin, menurutku saja, sahabat adalah sosok istimewa yang mengerti diri kita seutuhnya. Mulai dari sifat, hobby, sikap, sampai kemana arah pikiran kita. Bisa dibilang sahabat adalah satu-satunya yang tahu rahasia terbesar kita seperti orang yang kita suka misalnya. Hahaha... orang yang kita suka bukanlah suatu rahasia bagiku, tidak! Itu hanya sejumput kotoran kecoak yang tidak sengaja masuk ke vacum cleaner.
Sahabat, yang sebenarnya –masih menurutku, hanyalah bayangan. Benda hitam yang mengikutiku kemana-mana. Sahabat adalah bayang-bayang dari rasa takut. Seperti penguntit yang tidak berasa, berbau, dan tidak terlihat. Sesuatu yang tidak akan kutemui di google map. Aku lebih suka memanggil mereka, the fucking one. Hanya orang bodoh yang masih percaya apa itu sahabat. Mencari arti dari sebuah persahabatan. 

Saturday, January 16, 2016

Albino yang Misterius

Seorang cewek albino berambut pirang masuk dan mempekenalkan dirinya. Keramaian pun muncul. Kelas yang semula sunyi berubah ricuh. Seperti demo mahasiswa yang terjadi belakangan ini. Apalagi anak cowok. Kalau ada yang bening sedikit saja sudah seperti orang kesurupan. Teriak sana sini cuma mau cari perhatian.
Butuh waktu lama untuk membuat mereka diam. Tapi akhirnya mereka bungkam juga. Anak baru itu dipersilahkan duduk di bangku kosong disamping Evan. Sontak saja Evan bahagia, membuat iri cowok lain di kelas.
“Hai, kenalin gue Evan!” kata Evan malu-malu.
Cewek itu tersenyum. Membuat Evan semakin jatuh cinta. Dia punya gigi gingsul yang indah yang membuat senyumnya semakin terlihat manis. Mereka berjabatan. Tanganya lembut dan terasa dingin saat menyentuh kulit Evan.
“Elisa!” jawab cewek itu.
Karena duduk berdekeatan, mereka sering mengobrol, tetapi dia tidak pernah membicarakan keluarganya. Dalam segi akademik, bisa dibilang Elisa anak yang jenius. Dia sudah mampu mengejar ketertinggalan. Hal itu membuat Evan semakin kagum. Sebuah benih cinta pun tumbuh di hatinya.
Pagi-pagi sekali Evan sudah berangkat. Padahal hari ini bukan jadwal piketnya. Evan segera menuju kelas. Dia mengeluarkan kertas dan bolpoin. Tanpa membuang waktu Evan menenggelamkan diri kedalam tulisannya.
“Ngerjain apa?” sapa Elisa yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Hal itu membuat konsentrasi Evan buyar. Dia menoleh. “Elisa? Sejak kapan elo disini?”
“Gue baru dateng kok!” Elisa terenyum. Dia duduk di samping Evan, “Ngerjain apa?”.
“Oh ini, tugas esay Bahasa Inggris! Semalem gue lupa buat!!”
“Mau gue bantu!” Elisa menarik buku Evan. Mengoreksi tulisannya yang amburadul.
Bukan sulap bukan sihir, pekerjaan Evan selesai lebih cepat. Dan yang paling ajaib tulisannya benar-benar rapi. Dia yakin bakal dapet nilai bagus nanti. Kebahagiaan terpancar di wajahnya.
Semakin hari, Elisa dan Evan semakin dekat. Perasaan Evan semakin lama semakin dalam. Rasanya hampir meledak. Apalagi kalau mereka sedang bercanda. Saat melihat Elisa tertawa lepas, serasa dunia miliknya dan Elisa seorang.
Bintang yang bersinar lebih terang dari biasanya. Walaupun masih sering berkompetisi siapa yang paling cerah, mereka tetap berjejer rapi di langit. Secara tiba-tiba, bayangan Elisa muncul. Seolah tidak percaya Evan mengusap matanya.
“Ih, kok jadi mikirin Elisa?” Guman Evan sendirian di balkon rumahnya.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi mata Evan masih tetap terjaga. Evan melirik ke arah jalanan di depan rumah. Sepi. Terdengar lolongan anjing. Lama kelamaan Evan bosan bengong sendirian. Dia memutuskan mencari makanan di depan kompleks rumahnya.
Beberapa rumah masih terang, sedangkan sisanya gelap. Hanya lampu taman dan lampu jalanan yang menjadi penerangnya saat ini. Dia berjalan seolah tidak ada akhirnya. Ditatapnya lurus kedepan. Perjalanan masih panjang. Evan seolah berada di sebuah lubang yang sangat dalam. Hitam gelap. Tidak berujung.
GUBBRRAAAKKK...
Evan menabrak sesuatu. Dia terjatuh.

Saturday, January 9, 2016

Shortcake cinta


Selesai. Semuanya akan selesai sampai disini. Kisahku dan dia, satu-satunya orang yang ada di hatiku selama ini akan berakhir. Aku tidak sanggup membayangkannya. Apa yang akan aku lakukan setelah ini? Tanpanya disisiku, tidak akan ada hal yang menyenangkan lagi. Kehidupanku akan hambar.

***
Pesanan sudah datang. Shortcake strowberry dengan lapisan coklat nikmat di dalamnya siap tersaji di atas meja. Wah, kelihatannya sedap. Bibirku tidak berhenti tersenyum membayangkan betapa lezatnya kue itu saat berada di mulutku.
“Huh, lebay! Hampir setiap hari elo makan itu, kan?”, kata Radit membuyarkan lamunanku.
“Tapi ini kan spesial,” kataku manja, “Spesial kelulusan kita! Sebagai tanda kalau mulai hari ini kita resmi jadi dewasa. Ah, senangnyaaaa!!!”, kataku sambil menggigit kue itu. Hmmm... Lezat!!
“Kita kan baru lulus SMP! Daripada mikirin itu, mending elo mikirin mau SMA dimana!”, balas Radit.
“Emang elo udah tahu mau SMA dimana?”,
Radit meletakkan shortcakenya. Pandangannya mengarah jauh ke luar. Ke arah jalanan yang ramai. Entah apa yang dilakukannya, melamun atau...?
“SMK Teknik Mandiri!”, katanya tiba-tiba dengan bangganya.
Aku terkejut. SMK Teknik? Itu kan sekolah khusus cowok. Tapi kenapa? Dia tidak pernah membicarakan ini denganku. Aku tidak percaya, dia pasti bercanda.
“Gue pingin setelah lulus nanti punya keahlian, mandiri dan bertanggung jawab. Jadi gue memutuskan untuk masuk SMK Teknik.”, kata Radit menjelaskan.
“Apa lo bakal tinggal di asrama?”,
Radit menjauhkan matanya dariku. Dia mengangguk sambil memandang ke luar toko.
“Oh, baguslah kalau begitu! Hahaha...!”, aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Berita ini sangat mengejutkan untukku.
“Jadi lo dukung gue?”,
“Kenapa nggak?”,
“Tapi kita bakalan..... Ah, bagus kalau gitu!”, balas Radit sambil mengacak-acak poniku.
Shortcake strowberry yang semula lezat, berubah menjadi hambar. Suasana yang semula menyenangkan, tiba-tiba berubah canggung. Radit tidak banyak bicara seperti biasanya. Dia bahkan tidak menanyakan dimana aku akan melanjutkan SMA. Apa dia tidak ingin tahu tentang aku? Atau dia memang tidak peduli padaku? Ah... menyebalkan.

Seseorang di kepalaku

Jangan, jangan pergi. Enggak, aku harus pergi. Jangan, kalau aku kesana aku bakal jadi bahan omongan. Ayolah enggak bakal ada yang ...