Beberapa
bulan yang lalu, tepatnya Juni 2012. Badanku masih sebesar gajah yang dipenuhi
bulu dan bengkak. Wajahku hampir tertutup lemak setebal pegunungan es himalaya.
Postur tubuhku? Jangan ditanya lagi. Bulat seperti bola salju yang
menggelinding. Semakin besar dan semakin besar. Bahkan jari-jariku tampak
seperti jempol semua.
Hari-hari
kulalui begitu saja. Tanpa rasa malu, tanpa rasa minder. Karena aku berpikir kalau
tubuhku paling sehat dan terawat di sekolah. Dan tentu saja karena seseorang
yang tidak pernah malu untuk berjalan di sebelahku. Sahabat karib sekaligus
cinta pertamaku, Reza Airlangga.
Reza
anak yang cool, menurutku. Meski selalu memakai kacamata baca, karena dia termasuk
jagoan lomba cerdas-cermat di sekolah. Selalu berpakaian rapi, berdandan ala
bangsawan abad 19 dan cara berjalannya seperti mahasiswa yang dapat IPK
tertinggi di kampus.
Satu
bulan kemudian, Juli 2013. Seseorang yang sudah sangat lama kukenal datang ke
arahku dan membawakan aku banyak sekali macam jajanan kesukaanku. Dia tertawa
melihat aku kaget akan kedatangannya.
“Haha...
Yona, loe kenapa?” kata Reza melepas kekagetanku.
“Apa?
Loe panggil gue apa? Yona? Tumben inget nama gue?” kata-kata meluncur diantara
pipi besarku yang menggembung.
“Yah
nggak apa dong sekali-kali nyenengin temen sendiri!” balas Reza sambil beralih
duduk di sebelahku.
Kelas
masih sepi. Hanya ada aku, Reza dan beberapa anak yang dapat giliran piket. Aku
membuka sebungkus sari roti yang masih ada harga Rp 3500,00 dan memasukkannya
ke mulut. Reza tersenyum melihatku.
“Kenapa
loe?” tanyaku sedikit malu.
“Lagi
seneng aja!” jawab Reza.
“Kenapa?”
tanyaku. Tanganku masih sibuk menghabiskan jajanan di depanku.
“Kayaknya
gue jatuh cinta deh!”
“Uhuk..Uhukkk..!”
aku memuntahkan sebagian isi mulutku. Reza jatuh cinta? Sama siapa? Anak mana? “Loe
jatuh cinta? Sama siapa?”
“Um...
anaknya nggak begitu cantik sih, tapi seenggaknya manis!”
“Eh?
Siapa? Kasih tahu dong!” kali ini aku benar-benar fokus.
Reza
diam. Dia tersenyum. Matanya mengarah ke atas membayangkan betapa manisnya
cewek yang sudah membuatnya jatuh cinta. Seenggaknya itu yang terekam
dipikiranku.
“Nggak
akh! Ra-ha-si-a! Yang jelas nggak gendut kayak kamu! Hahahaha...!” jawab Reza
sambil beranjak lalu pergi ke luar kelas. Entahlah, aku tidak mau mengejarnya.
Aku hanya terpaku memikirkan kata-kata Reza yang terakhir.
Cewek
itu tidak gendut seperti aku. Cewek yang ditaksir Reza pasti sangat seksi.
Rambutnya panjang terurai indah. Kakinya juga tidak akan sebengkak kakiku.
Apalagi perutnya, pasti kempes masuk ke dalam. Menyebalkan. Baru kali ini aku
merasa iri pada cewek langsing. Menyebalkan.
Aku
berdiri di depan cermin di dalam kamar. “Hei, Yona Alisia! Loe orang bukan?”
tanyaku pada diriku yang lain di dalam cermin. Tak lama aku beranjak ke arah
timbangan badan yang sengaja aku beli sepulang sekolah tadi. Aku naikkan kedua
kakiku di atasnya. Belum ada satu detik, KRAKKK... berat badanku menghancurkan
timbangan badan itu.
“Sial!”
umpatku. “Emang gue segede itu ya? Sampai timbangan aja nggak mampu nahan berat
badan gue? Akh...”. aku menjatuhkan badanku ke kasur. Beruntung lah kasurku
tidak ikut hancur. Pandanganku jauh ke arah langit-langit kamar.
“Dari
kecil aku udah temenan sama Reza. Sedikitpun dia nggak pernah bilang suka sama
aku. Walaupun kelakuannya care ke gue,
itupun cuma sebatas temen aja. Kenapa dia nggak jatuh cinta sama aku? Apa
karena badanku? Huh... Timbangan aja sampai pecah. Gue nggak bisa biarin Reza
direbut cewek lain. Nggak boleh. Tapi gimana caranya?”. Aku berpikir sejenak.
Merasakan otakku yang berputar bersamaan dengan keringat yang mengucur melewati
dahiku. “Yah, satu-satunya cara adalah DIET. Aku harus diet. Harus. Harus.
HARUS!!!”
Aku
menolak semua makanan yang biasa aku makan setiap pagi. Nasi goreng dan telur
setengah matang. Ditambah roti isi selai kacang berlapis yang diisi selai
coklat di atasnya dan selai strowberry di bawahnya. Juga susu coklat buatan
mama yang rasanya selangit. Semuanya harus aku tolak demi program dietku. Yah,
demi Reza dan cewek ra-ha-si-a-nya yang menyebalkan itu.
Disekolah
aku menahan godaan kantin Bu Inah. Aku menolak jajanan yang dibawa Reza karena
rasa bahagianya. Aku hanya mengisi bagian lambungku dengan air putih dan air
putih. Tapi, masalah baru muncul. Aku lapar. Perutku sakit. Sakit sekali.
Rasanya mual dan perih dan panas dan apapun itu. Mataku berkunang-kunang. Dan
akhirnya pandanganku gelap.
Perlahan
tapi pasti. Cahaya mulai terlihat di pelupuk mataku. Beberapa potong kepala
tampak di depanku. Aku kenal dia. Cowok yang menjadi cinta pertamaku sekaligus
sahabat karibku. Reza Airlangga.
“Ndut?
Loe nggak apa-apa?” tanya Reza, membantuku duduk.
“Gue
laper, Za! Gue nggak makan dari semalem. Gue pengen diet. Pengen langsing kayak
anak-anak lain. Gue nggak mau gendut, Za!” jawabku tanpa pikir panjang.
Reza
tertawa. “Loe ngomong apaan sih? Diet? Langsing? Nggak pengen gendut? Kalau loe
pengen kurus, bukan dengan cara nggak makan gitu dong. Loe hampir aja kena mag.”
Kata Reza.
“Terus
gue harus gimana?”
Reza berpikir keras. Tangannya
menyentuh dagu ala-ala Detektif Conan sedang memecahkan kasus tersulit. Dan
akhirnya dia tersenyum menyeringai, seolah ada rencana besar menunggu di depan
mata.
“Hari minggu besok, gue jemput
loe jam 6 pagi. Kita jogging ke tempat fitnes temen gue.” Celetuk Reza
tiba-tiba.
“Hah? Jam segitu gue...!”
“Nggak ada alasan. Loe mau
langsing nggak?”
Aku mengangguk.
“Ya udah nggak ada alasan buat
ngomong ‘nggak’!”
Reza sudah di depan rumah.
Lengkap dengan tengtop cowok warna abu-abu dan celana komprang dan sepatu sport
dan handuk kecil di lehernya. Sedangkan aku, masih pakai piyama ukuran XXXL.
“Ayo!” ajak Reza bersemangat.
Aku mengangguk lemas. Seandainya
kelopak mata punya tulang, pasti mataku tidak akan sesipit ini menahan kantuk.
Sesekali aku menguap. Tetap saja uapanku tidak sebesar tubuhku.
Kami sampai di tempat fitnes.
Banyak cewek-cewek cantik lalu lalang di depanku. Mas mas ganteng juga banyak.
Tapi tidak ada satupun yang terpesona melihatku. Mereka hanya memalingkan wajah
dan tertawa. Ini pertama kalinya aku ke tempat fitnes dan pertama kalinya juga
merasa sangat sangat sangat malu.
“Kita pulang aja yukk!” ajakku.
Reza menggeleng mantap. “Gue udah
panggilin guru terhebat yang pernah gue kenal!”
“Siapa?”
“Itu dia orangnya!.” Reza
menunjuk ke arah pintu masuk.
Cewek super seksi yang pernah gue
lihat. Tengtop ketat warna merah plus hot pants terhot yang pernah aku lihat.
Lambaian tangannya selihai tatapan matanya. Senyumannya lebut seperti corneto chocolate. Kalau aku cowok dan
tidak gendut, aku pasti sudah naksir sama dia.
Setelah satu bulan latihan ada
perubahan besar. Anak-anak satu sekolah keheranan melihat perutku mulai kempes.
Dua bulan latihan, mereka semua mulai memperhatikan wajahku yang menciut
menjadi bola bekel yang super imut. Tiga bulan latihan penampilanku mulai
merubah imej gendutku menjadi seksi. Empat bulan berlalu dan aku sudah seseksi Katy
Perry.
Sekarang, lima bulan berlalu
setelah fase bombastisku. Tepatnya 24 November 2012. Tepat ulang tahun Reza
yang ke 17. Dia mengadakan pesta kecil di halaman rumahnya. Hanya aku, teman
sekelas dan cewek yang sampai sekarang tidak aku tahu, cewek yang ditaksir
Reza, yang diundang ke pesta ulang tahunnya itu. Ada perasaan deg-degan
bercampur penasaran. Masih belum hilang rasa benciku padanya. Cewek yang
benar-benar membuat Reza jatuh cinta. Siapa dia? Bagaimana dia? Entahlah, aku
hanya mengikuti aliran air sungai yang lewat begitu saja di kehidupanku.
Aku mengenakan baju terbaikku.
Dress merah dengan pita kecil di pinggang melingkar membentuk sebuah belt plus sepatu merah berukuran kecil
menghiasi langkah kakiku. Aku kira aku cukup cantik untuk datang dan menyaingi
cewek yang ditaksir Reza. Berbeda cerita kalau dia secantik Ema Watson atau
Kristen Steward. Karena aku hanya secantik Barbie Tsu.
“Temen-temen semua. Terima kasih
sudah datang ke acara spesial buat gue malam ini.” Kata Reza membuka acara
ulang tahunya. “Hari ini adalah hari lahir gue yang ke 17, dimana sebuah pintu
kedewasaan terbuka lebar di mata gue. Jadi kalian harus nikmatin acara spesial
ini. Setuju semuanya?”
“Yuhuii!!” jawab semua yang hadir
serentak. Termasuk aku. Mereka mulai pestanya. Ada yang menari-nari, ngobrol,
makan, bahkan bengong diantara keramaian.
Reza menghampiriku. Dia tersenyum
lembut seperti menyambut tamu spesialnya. “Hai, Za!” tegurku sok manis.
“Sekarang loe beda ndut!” jawab
Reza.
“Masih aja loe panggil gue ndut!”
balasku kesal.
“Walaupun loe udah cantik, loe
tetep gendut gue yang paling unik!”. Kami tertawa bersama.
“Oh ya, mana cewek yang loe
taksir?”.
“Oh, dia ada di dalam rumah. Sama
nyokab sama bokab. Ayo gue kenalin!”
Yes, inilah kesempatan yang aku
tunggu. Aku mengikuti langkah Reza masuk ke dalam rumahnya. Perlahan tapi pasti
aku mulai memperhatikan siapa-siapa saja yang ada di sana. Tante Emi, mamanya
Reza. Om Rahman, papanya Reza. Sintia, adiknya Reza. Dan cewek yang ditaksir
Reza.
Aku berhenti melihat cewek itu.
Dia tidak seperti Ema watson atau Kristen Steward. Dia seperti... seperti...
seperti dia. Seperti cewek yang ditaksi Reza. Cewek yang punya mata indah.
Rambut yang dibiarkan terurai. Kulit yang putih bersih dan sangat halus. Dan
benar kata Reza dia sangat manis. Dan tidak segendut aku dahulu. Dia sempurna.
Walaupun aku sadar dari awal, dia duduk di kursi roda.
“Kenalin, ini Yona, sahabat gue.
Yona ini Vera, temen gue.” Kata Reza memperkenalkan kita berdua.
Aku terpaku memperhatikan ayunan
tangannya yang sangat pelan mengajakku bersalaman.
“Ha-i, a-ku Ve-ra. Se-nang bi-sa
ke-nal sa-ma ka-mu. Re-za ba-nyak ce-ri-ta ten-tang ka-mu!” cewek itu berbicara
dengan terbata-bata.
Aku hanya bisa tersenyum. Inikah
cewek yang selama ini membuat aku kesal? Diakah yang selama ini membuat aku
bersusah payah mengecilkan badan karena cemburu? Diakah, cewek dengan nama
Vera, yang berhasil membuat Reza jatuh cinta? Rasanya aku ingin menangis.
“Ndut!” panggil Reza.
Kami duduk di kursi halaman
diantara ramainya pesta. Beberapa anak lalu lalang di hadapan kami.
“Loe pasti penasaran kenapa Vera
kayak gitu?” tanya Reza.
“Jujur sih iya. Apa dia sakit?
Sakit... um... sesuatu yang... parah mungkin?”
Reza mengangguk. “Vera mencerita degenerasi spinocerebellar. Sejak umur
12 tahun. Kalau dihitung sudah 5 tahun.”
Aku menghitung rentang waktu
diantara kita. “Dia seumuran kita?”
Reza mengangguk lagi. “Gue ketemu
dia di rumah sakit waktu nganterin Sintia tes darah. Sebulan setelah gue bilang
kalau gue jatuh cinta.”
“Degenerasi Spinocerebellar? Kayaknya nggak asing.” Pikiranku
mengingat-ingat.
Reza tersenyum. “One Litle of
Tears? Buku harian Nayla?”
Yah, aku ingat. Itu adalah penyakit
yang menyerang sistem saraf motorik. Yang membuat penderitanya kehilangan
kontrol akan gerakan pada tubuhnya. Kenapa separah itu? Mungkinkah Vera akan
mati dalam hitungan detik? Atau penyakit itu sudah ada obatnya?
Aku tidak bisa tidur. Bingung,
gelisah, takut bercampur mengaduk perasaan terdalam yang pernah merasa kesal.
Pertama aku melihat Vera, aku tahu apa yang dirasakan Reza selama ini. Rasa
cintaku pada Reza seakan hanyut tertelan ombak pasang Laut Selatan. Masuk ke
bebatuan karang Nyai Roro Kidul, lalu menghilang bersama waktu. Aku bisa
merasakan getaran cinta yang memancar di mata Vera. Ketakutan dan kegelisahan
yang dirasakan Vera.
Sepulang sekolah, aku dan Reza
pergi ke Rumah sakit menemui Vera. Kami sedikit akrab meskipun komunikasi kami
tidak lancar.
“Ka-mu ma-kin can-tik, Yo-na!”
puji Vera.
“Makasih. Ini semua juga berkat
Reza. Percaya nggak dulu aku gendut banget loh!” jawabku sok akrab.
Vera merogoh saku piyamanya. Dia
mengeluarkan selembar foto dan menyandigkannya denganku. Vera tersenyum.
“Be-nar be-nar ber-u-bah!” katanya.
Aku mengintip siapa yang ada di
foto itu. Ya ampun, itu kan aku. Yang masih memakai baju terbesar yang pernah
dibuat. Masih dengan wajah bakpao terbesar yang pernah dimasak. Dengan
jari-jari yang semuanya masih jempol. Itu fotoku saat aku masih sebesar meteor
yang melubangi grand canyon.
“Darimana kamu dapat foto ini?”.
Pertanyaan yang tidak seharusnya aku tanyakan. Pasti Reza.
“Re-za!” jawab Vera.
“Tuh kan, bener!”. Aku melotot ke
arah Reza yang menahan tawa.
“Sialan loe, Za! Nggak setia
kawan loe, buka-buka aib orang!”
Kami tertawa bersama. Meskipun
Vera tertawa terbata-bata, dan aku yang masih kesal. Kami seakan hanyut ke
dalam arus persahabatan tanpa hulu.
“Heh, ndut! Seharusnya loe terima
kasih ke Vera! Dia yang udah manggil tantenya buat ngelatih loe!” kata Reza,
setelah kami berhenti tertawa.
“Maksudnya? Mbak yang ngelatih
gue itu tantenya Vera?”
Reza mengangguk. Begitu juga
Vera.
“Re-za ce-ri-ta ka-la-u di-a
pu-nya te-men yang gen-dut ba-nget. I-tu ka-mu. Re-za ta-kut ka-la-u ka-mu
ke-na o-be-si-ta-s.” Vera berhenti sejenak. Mengambil nafas lalu
mengeluarkannya dan melanjutkan ceritanya. “A-ku re-ko-men-da-si-ka-n bu-at
ka-mu la-ti-han fit-nes sa-ma tan-te-ku. Ke-be-tu-lan tan-te-ku in-s-struk-tur
fit-nes.” Vera berhenti lagi.
Reza melanjutkan cerita Vera.
“Aku dan Vera ngomongin hal ini ke tantenya, dan dia setuju setelah lihat
fotomu.” Reza memandang ke arah Vera. Dia tersenyum lembut. Sangat lembut.
Senyuman yang tidak pernah diperlihatkannya padaku. Vera membalasnya.
“Jadi, gue kurus itu berkat loe,
Ve?” tanyaku tidak percaya.
Vera menggeleng. “Se-mu-a-nya
ka-re-na u-sa-ha ka-mu, Yo-na!”.
Aku melamun di perjalanan pulang.
Vera yang dulu pernah aku benci, ternyata dalang dibalik berubahnya diriku.
Karena kepedulian Vera aku berubah menjadi juliet yang disukai semua orang. Karena
kepedulian Vera aku yang The Beast
berubah menjadi aku yang The Beauty. Yah,
karena kepedulian Vera yang dilandasi dengan cinta.
“Ndut! Loe kenapa?” tanya Reza
setengah konsentrasi menyetir.
Aku menoleh. “Loe beneran suka
sama Vera?”.
Suasana hening untuk beberapa
saat. Tampak wajah Reza sedikit menegang. Matanya berkedip melebihi durasi
kedipan orang normal.
“Gue tahu jawabannya!” sahutku
tiba-tiba. “Kenapa loe nggak bilang aja ke dia? Mumpung masih ada kesempatan.”
Mobil Reza berhenti mendadak. Wajahnya
tampak kacau. “Gue nggak bisa!” jawab Reza.
“Kenapa? Karena dia sakit?”
“Nggak! Gue nggak pernah
mempermasalahkan penyakitnya.”
“Terus?”
“Itu karena...” Reza kelihatan
bingung. “Karena...” terlihat semakin bimbang.
“Kenapa?” tanyaku tidak sabaran.
“Ndut! Sebenernya gue takut. Gue
takut kehilangan dia. Gue takut kalau gue ungkapin perasaan gue, dan di saat
itu juga gue kehilangan dia. Gue takut...”
“Za, hidup mati itu di tangan
Allah. Kenapa loe harus takut? Kita putar balik ke rumah sakit. Gue mau loe
ngomong sejujurnya ke Vera.” Pintaku dengan paksa.
“Nggak! Nggak, ndut. Nggak
sekarang!” tolak Reza.
“Kenapa?
Loe nggak pengen tahu gimaan perasaan Vera ke loe? Atau loe pengen Vera
meninggal tanpa tahu ada cowok yang bener-bener cinta sama dia? Loe juga harus
pikirin perasaan Vera, Za!”
“Tapi,
ndut...!”
“Itu
terserah sama loe!”
Kami
terdiam sejenak. Suasana mulai remang-remang di luar. Matahari mulai
mengucapkan selamat tinggal untuk hari ini. Dan bulan sudah melambaikan
tangannya, say hello pada dunia yang
mulai gelap. Tiba-tiba Reza memutar kunci mobilnya. Melesatkannya ke arah
belokan dan kembali ke arah rumah sakit. Aku berhasil membujuknya. Dan membujuk
hatiku untuk melepaskan cinta pertamaku.
Vera
tampak indah dari sini. Tepat di pintu halaman, aku menunggu Reza menyatakan
perasaannya pada Vera. Aku rasa aku masih bisa mendengar apa yang mereka
katakan. Vera yang semula serius membaca The
Secret kesukaannya, merasakan kehadiran Reza disana.
“Re-za, ka-mu be-lu-m pu-la-ng?”
tegur Vera masih terbata-bata.
“Ada yang pengen aku omongin ke
kamu!” jawab Reza, lembut.
Baru kali ini aku mendengar Reza
bilang ‘kamu’.
“a-a-a-pa?” Vera bicara lebih
lambat dari biasanya.
“Aku... suka... sama... kamu!”
Vera terdiam. Aku bisa merasakan
gelombang keterkejutan di mata Vera. Aku yakin Vera menantikan hal itu. Dan aku
yakin, Reza mampu melakukannya.
“Aku tahu semua ini tidak mudah.
Tapi apapun yang terjadi, aku tidak akan berjalan di belakangmu untuk mendorong
kursi rodamu. Karena aku terlalu takut untuk jauh darimu. Juga bukan berjalan
didepanmu untuk menggendongmu. Karena aku takut meninggalkanmu. Aku akan
berjalan di sampingmu. Menggenggam tanganmu, melindungimu dan menjagamu.
Menemanimu sampai kapanpun yang aku mampu.”
“A-a-a...” Vera berusaha
mengatakan sesuatu. Tetapi suaranya tidak mau keluar. Air matanya mengalir
begitu saja. Vera mengangkat tangannya yang mulai kaku. Membuat isyarat yang
semua orang tahu artinya. Bahasa isyarat yang mengartikan sebuah kata ‘TERIMA
KASIH’ yang begitu dalam.
Aku tidak bisa berpikir. Ulangan
PKn kali ini bukan yang terbaik yang bisa aku raih. Aku kembali membeli makanan
yang dahulu pernah aku makan. Makanan paling berlemak yang pernah dimasak.
Gorengan, bakso, mie ayam. Semuanya langsung aku makan dalam waktu yang
bersamaan.
“Akh... Ini udah seminggu! Kenapa
nggak ada kabar?” teriak Reza yang duduk di sebelahku.
“Masih belum bisa dihubungi?”
Reza menggeleng. “Gue udah ke
rumah sakit berkali-kali. Tapi dia nggak ada. Gue telpon nggak diangkat. Bener
kan ndut! Apa yang gue takutin terjadi. GUE KEHILANGAN VERA!!!” kata Reza,
kesal.
“Udah tanya resepsionis?”
“Belum!”
“Geblek loe!”
Sore itu juga aku dan Reza ke
rumah sakit. Dan informasi yang kami dapat adalah informasi paling buruk yang
pernah kami dengar. Dua hari yang lalu, Vera mengalami kejang. Dia tersedak
saat makan. Itulah penyebabnya. Makanannya menutupi tenggorokannya. Menghalangi
pernafasannya. Entah apa yang dirasakannya saat itu. Pasti sangat sakit sekali.
Kematiannya begitu cepat. Pertemuanku denganya sangatlah singkat. Apakah
persahabatanku sampai disini saja. Di sebuah makam yang masih basah.
Aku berdiri tepat di samping
kanan makam yang bertuliskan nama ‘Vera Anggraini’. Seseorang yang pernah
membuat aku cemburu sekaligus merubahku menjadi lebih baik. Dan bagi Reza, dia
adalah cewek yang pernah membuatnya jatuh cinta. Reza lemas, tertunduk di batu
nisan Vera. Air matanya mengalir meski tak terdengar rintihan dari mulutnya.
Perasaan itu datang lagi.
Menghampiriku seakan menemukan kesempatan kedua. Rasa cinta yang pertama kali
aku rasakan. Yah, mungkin benar apa kata orang. Cinta itu bisa merubah
segalanya. Dari yang kecil menjadi besar. Miskin jadi kaya. Bodoh jadi pintar.
Jelek jadi cantik. Dan merubah orang sakit seolah-olah sehat. Dan bagiku cinta
bisa merubah persahabatan yang biasa menjadi penuh makna.
Kita bisa mencintai seseorang,
tapi bukan berarti kita bisa memilikinnya. Cinta itu tidak mudah tapi bukan
berarti tidak dapat dipecahkan. Karena cinta bukanlah untuk menerima tapi untuk
memberi. Suatu saat aku akan mengerti. Yah, suatu saat. Suatu saat yang pasti.
-The End-
No comments:
Post a Comment