Wednesday, February 19, 2014

Cerpen - Cinta yang merubah semuanya


Kata orang cinta bisa merubah segalanya. Dari yang kecil menjadi besar. Miskin jadi kaya. Bodoh jadi pintar. Jelek jadi cantik. Dan yang kurasakan adalah cinta bisa merubah orang gemuk menjadi langsing. Yah, kata orang memang benar. Cinta itu sebuah sihir yang bisa merubah apapun di dunia ini.
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya Juni 2012. Badanku masih sebesar gajah yang dipenuhi bulu dan bengkak. Wajahku hampir tertutup lemak setebal pegunungan es himalaya. Postur tubuhku? Jangan ditanya lagi. Bulat seperti bola salju yang menggelinding. Semakin besar dan semakin besar. Bahkan jari-jariku tampak seperti jempol semua.
Hari-hari kulalui begitu saja. Tanpa rasa malu, tanpa rasa minder. Karena aku berpikir kalau tubuhku paling sehat dan terawat di sekolah. Dan tentu saja karena seseorang yang tidak pernah malu untuk berjalan di sebelahku. Sahabat karib sekaligus cinta pertamaku, Reza Airlangga.
Reza anak yang cool, menurutku. Meski selalu memakai kacamata baca, karena dia termasuk jagoan lomba cerdas-cermat di sekolah. Selalu berpakaian rapi, berdandan ala bangsawan abad 19 dan cara berjalannya seperti mahasiswa yang dapat IPK tertinggi di kampus.
Satu bulan kemudian, Juli 2013. Seseorang yang sudah sangat lama kukenal datang ke arahku dan membawakan aku banyak sekali macam jajanan kesukaanku. Dia tertawa melihat aku kaget akan kedatangannya.
“Haha... Yona, loe kenapa?” kata Reza melepas kekagetanku.
“Apa? Loe panggil gue apa? Yona? Tumben inget nama gue?” kata-kata meluncur diantara pipi besarku yang menggembung.
“Yah nggak apa dong sekali-kali nyenengin temen sendiri!” balas Reza sambil beralih duduk di sebelahku.
Kelas masih sepi. Hanya ada aku, Reza dan beberapa anak yang dapat giliran piket. Aku membuka sebungkus sari roti yang masih ada harga Rp 3500,00 dan memasukkannya ke mulut. Reza tersenyum melihatku.
“Kenapa loe?” tanyaku sedikit malu.
“Lagi seneng aja!” jawab Reza.
“Kenapa?” tanyaku. Tanganku masih sibuk menghabiskan jajanan di depanku.
“Kayaknya gue jatuh cinta deh!”
“Uhuk..Uhukkk..!” aku memuntahkan sebagian isi mulutku. Reza jatuh cinta? Sama siapa? Anak mana? “Loe jatuh cinta? Sama siapa?”
“Um... anaknya nggak begitu cantik sih, tapi seenggaknya manis!”
“Eh? Siapa? Kasih tahu dong!” kali ini aku benar-benar fokus.
Reza diam. Dia tersenyum. Matanya mengarah ke atas membayangkan betapa manisnya cewek yang sudah membuatnya jatuh cinta. Seenggaknya itu yang terekam dipikiranku.
“Nggak akh! Ra-ha-si-a! Yang jelas nggak gendut kayak kamu! Hahahaha...!” jawab Reza sambil beranjak lalu pergi ke luar kelas. Entahlah, aku tidak mau mengejarnya. Aku hanya terpaku memikirkan kata-kata Reza yang terakhir.
Cewek itu tidak gendut seperti aku. Cewek yang ditaksir Reza pasti sangat seksi. Rambutnya panjang terurai indah. Kakinya juga tidak akan sebengkak kakiku. Apalagi perutnya, pasti kempes masuk ke dalam. Menyebalkan. Baru kali ini aku merasa iri pada cewek langsing. Menyebalkan.
Aku berdiri di depan cermin di dalam kamar. “Hei, Yona Alisia! Loe orang bukan?” tanyaku pada diriku yang lain di dalam cermin. Tak lama aku beranjak ke arah timbangan badan yang sengaja aku beli sepulang sekolah tadi. Aku naikkan kedua kakiku di atasnya. Belum ada satu detik, KRAKKK... berat badanku menghancurkan timbangan badan itu.
“Sial!” umpatku. “Emang gue segede itu ya? Sampai timbangan aja nggak mampu nahan berat badan gue? Akh...”. aku menjatuhkan badanku ke kasur. Beruntung lah kasurku tidak ikut hancur. Pandanganku jauh ke arah langit-langit kamar.
“Dari kecil aku udah temenan sama Reza. Sedikitpun dia nggak pernah bilang suka sama aku. Walaupun kelakuannya care ke gue, itupun cuma sebatas temen aja. Kenapa dia nggak jatuh cinta sama aku? Apa karena badanku? Huh... Timbangan aja sampai pecah. Gue nggak bisa biarin Reza direbut cewek lain. Nggak boleh. Tapi gimana caranya?”. Aku berpikir sejenak. Merasakan otakku yang berputar bersamaan dengan keringat yang mengucur melewati dahiku. “Yah, satu-satunya cara adalah DIET. Aku harus diet. Harus. Harus. HARUS!!!”
Aku menolak semua makanan yang biasa aku makan setiap pagi. Nasi goreng dan telur setengah matang. Ditambah roti isi selai kacang berlapis yang diisi selai coklat di atasnya dan selai strowberry di bawahnya. Juga susu coklat buatan mama yang rasanya selangit. Semuanya harus aku tolak demi program dietku. Yah, demi Reza dan cewek ra-ha-si-a-nya yang menyebalkan itu.
Disekolah aku menahan godaan kantin Bu Inah. Aku menolak jajanan yang dibawa Reza karena rasa bahagianya. Aku hanya mengisi bagian lambungku dengan air putih dan air putih. Tapi, masalah baru muncul. Aku lapar. Perutku sakit. Sakit sekali. Rasanya mual dan perih dan panas dan apapun itu. Mataku berkunang-kunang. Dan akhirnya pandanganku gelap.
Perlahan tapi pasti. Cahaya mulai terlihat di pelupuk mataku. Beberapa potong kepala tampak di depanku. Aku kenal dia. Cowok yang menjadi cinta pertamaku sekaligus sahabat karibku. Reza Airlangga.
“Ndut? Loe nggak apa-apa?” tanya Reza, membantuku duduk.
“Gue laper, Za! Gue nggak makan dari semalem. Gue pengen diet. Pengen langsing kayak anak-anak lain. Gue nggak mau gendut, Za!” jawabku tanpa pikir panjang.
Reza tertawa. “Loe ngomong apaan sih? Diet? Langsing? Nggak pengen gendut? Kalau loe pengen kurus, bukan dengan cara nggak makan gitu dong. Loe hampir aja kena mag.” Kata Reza.
“Terus gue harus gimana?”
Reza berpikir keras. Tangannya menyentuh dagu ala-ala Detektif Conan sedang memecahkan kasus tersulit. Dan akhirnya dia tersenyum menyeringai, seolah ada rencana besar menunggu di depan mata.
“Hari minggu besok, gue jemput loe jam 6 pagi. Kita jogging ke tempat fitnes temen gue.” Celetuk Reza tiba-tiba.
“Hah? Jam segitu gue...!”
“Nggak ada alasan. Loe mau langsing nggak?”
Aku mengangguk.
“Ya udah nggak ada alasan buat ngomong ‘nggak’!”
Reza sudah di depan rumah. Lengkap dengan tengtop cowok warna abu-abu dan celana komprang dan sepatu sport dan handuk kecil di lehernya. Sedangkan aku, masih pakai piyama ukuran XXXL.
“Ayo!” ajak Reza bersemangat.
Aku mengangguk lemas. Seandainya kelopak mata punya tulang, pasti mataku tidak akan sesipit ini menahan kantuk. Sesekali aku menguap. Tetap saja uapanku tidak sebesar tubuhku.
Kami sampai di tempat fitnes. Banyak cewek-cewek cantik lalu lalang di depanku. Mas mas ganteng juga banyak. Tapi tidak ada satupun yang terpesona melihatku. Mereka hanya memalingkan wajah dan tertawa. Ini pertama kalinya aku ke tempat fitnes dan pertama kalinya juga merasa sangat sangat sangat malu.
“Kita pulang aja yukk!” ajakku.
Reza menggeleng mantap. “Gue udah panggilin guru terhebat yang pernah gue kenal!”
“Siapa?”
“Itu dia orangnya!.” Reza menunjuk ke arah pintu masuk.
Cewek super seksi yang pernah gue lihat. Tengtop ketat warna merah plus hot pants terhot yang pernah aku lihat. Lambaian tangannya selihai tatapan matanya. Senyumannya lebut seperti corneto chocolate. Kalau aku cowok dan tidak gendut, aku pasti sudah naksir sama dia.
Setelah satu bulan latihan ada perubahan besar. Anak-anak satu sekolah keheranan melihat perutku mulai kempes. Dua bulan latihan, mereka semua mulai memperhatikan wajahku yang menciut menjadi bola bekel yang super imut. Tiga bulan latihan penampilanku mulai merubah imej gendutku menjadi seksi. Empat bulan berlalu dan aku sudah seseksi Katy Perry.
Sekarang, lima bulan berlalu setelah fase bombastisku. Tepatnya 24 November 2012. Tepat ulang tahun Reza yang ke 17. Dia mengadakan pesta kecil di halaman rumahnya. Hanya aku, teman sekelas dan cewek yang sampai sekarang tidak aku tahu, cewek yang ditaksir Reza, yang diundang ke pesta ulang tahunnya itu. Ada perasaan deg-degan bercampur penasaran. Masih belum hilang rasa benciku padanya. Cewek yang benar-benar membuat Reza jatuh cinta. Siapa dia? Bagaimana dia? Entahlah, aku hanya mengikuti aliran air sungai yang lewat begitu saja di kehidupanku.
Aku mengenakan baju terbaikku. Dress merah dengan pita kecil di pinggang melingkar membentuk sebuah belt plus sepatu merah berukuran kecil menghiasi langkah kakiku. Aku kira aku cukup cantik untuk datang dan menyaingi cewek yang ditaksir Reza. Berbeda cerita kalau dia secantik Ema Watson atau Kristen Steward. Karena aku hanya secantik Barbie Tsu.
“Temen-temen semua. Terima kasih sudah datang ke acara spesial buat gue malam ini.” Kata Reza membuka acara ulang tahunya. “Hari ini adalah hari lahir gue yang ke 17, dimana sebuah pintu kedewasaan terbuka lebar di mata gue. Jadi kalian harus nikmatin acara spesial ini. Setuju semuanya?”
“Yuhuii!!” jawab semua yang hadir serentak. Termasuk aku. Mereka mulai pestanya. Ada yang menari-nari, ngobrol, makan, bahkan bengong diantara keramaian.
Reza menghampiriku. Dia tersenyum lembut seperti menyambut tamu spesialnya. “Hai, Za!” tegurku sok manis.
“Sekarang loe beda ndut!” jawab Reza.
“Masih aja loe panggil gue ndut!” balasku kesal.
“Walaupun loe udah cantik, loe tetep gendut gue yang paling unik!”. Kami tertawa bersama.
“Oh ya, mana cewek yang loe taksir?”.
“Oh, dia ada di dalam rumah. Sama nyokab sama bokab. Ayo gue kenalin!”
Yes, inilah kesempatan yang aku tunggu. Aku mengikuti langkah Reza masuk ke dalam rumahnya. Perlahan tapi pasti aku mulai memperhatikan siapa-siapa saja yang ada di sana. Tante Emi, mamanya Reza. Om Rahman, papanya Reza. Sintia, adiknya Reza. Dan cewek yang ditaksir Reza.
Aku berhenti melihat cewek itu. Dia tidak seperti Ema watson atau Kristen Steward. Dia seperti... seperti... seperti dia. Seperti cewek yang ditaksi Reza. Cewek yang punya mata indah. Rambut yang dibiarkan terurai. Kulit yang putih bersih dan sangat halus. Dan benar kata Reza dia sangat manis. Dan tidak segendut aku dahulu. Dia sempurna. Walaupun aku sadar dari awal, dia duduk di kursi roda.
“Kenalin, ini Yona, sahabat gue. Yona ini Vera, temen gue.” Kata Reza memperkenalkan kita berdua.
Aku terpaku memperhatikan ayunan tangannya yang sangat pelan mengajakku bersalaman.
“Ha-i, a-ku Ve-ra. Se-nang bi-sa ke-nal sa-ma ka-mu. Re-za ba-nyak ce-ri-ta ten-tang ka-mu!” cewek itu berbicara dengan terbata-bata.
Aku hanya bisa tersenyum. Inikah cewek yang selama ini membuat aku kesal? Diakah yang selama ini membuat aku bersusah payah mengecilkan badan karena cemburu? Diakah, cewek dengan nama Vera, yang berhasil membuat Reza jatuh cinta? Rasanya aku ingin menangis.
“Ndut!” panggil Reza.
Kami duduk di kursi halaman diantara ramainya pesta. Beberapa anak lalu lalang di hadapan kami.
“Loe pasti penasaran kenapa Vera kayak gitu?” tanya Reza.
“Jujur sih iya. Apa dia sakit? Sakit... um... sesuatu yang... parah mungkin?”
Reza mengangguk. “Vera mencerita degenerasi spinocerebellar. Sejak umur 12 tahun. Kalau dihitung sudah 5 tahun.”
Aku menghitung rentang waktu diantara kita. “Dia seumuran kita?”
Reza mengangguk lagi. “Gue ketemu dia di rumah sakit waktu nganterin Sintia tes darah. Sebulan setelah gue bilang kalau gue jatuh cinta.”
Degenerasi Spinocerebellar? Kayaknya nggak asing.” Pikiranku mengingat-ingat.
Reza tersenyum. “One Litle of Tears? Buku harian Nayla?”
Yah, aku ingat. Itu adalah penyakit yang menyerang sistem saraf motorik. Yang membuat penderitanya kehilangan kontrol akan gerakan pada tubuhnya. Kenapa separah itu? Mungkinkah Vera akan mati dalam hitungan detik? Atau penyakit itu sudah ada obatnya?
Aku tidak bisa tidur. Bingung, gelisah, takut bercampur mengaduk perasaan terdalam yang pernah merasa kesal. Pertama aku melihat Vera, aku tahu apa yang dirasakan Reza selama ini. Rasa cintaku pada Reza seakan hanyut tertelan ombak pasang Laut Selatan. Masuk ke bebatuan karang Nyai Roro Kidul, lalu menghilang bersama waktu. Aku bisa merasakan getaran cinta yang memancar di mata Vera. Ketakutan dan kegelisahan yang dirasakan Vera.
Sepulang sekolah, aku dan Reza pergi ke Rumah sakit menemui Vera. Kami sedikit akrab meskipun komunikasi kami tidak lancar.
“Ka-mu ma-kin can-tik, Yo-na!” puji Vera.
“Makasih. Ini semua juga berkat Reza. Percaya nggak dulu aku gendut banget loh!” jawabku sok akrab.
Vera merogoh saku piyamanya. Dia mengeluarkan selembar foto dan menyandigkannya denganku. Vera tersenyum.
“Be-nar be-nar ber-u-bah!” katanya.
Aku mengintip siapa yang ada di foto itu. Ya ampun, itu kan aku. Yang masih memakai baju terbesar yang pernah dibuat. Masih dengan wajah bakpao terbesar yang pernah dimasak. Dengan jari-jari yang semuanya masih jempol. Itu fotoku saat aku masih sebesar meteor yang melubangi grand canyon.
“Darimana kamu dapat foto ini?”. Pertanyaan yang tidak seharusnya aku tanyakan. Pasti Reza.
“Re-za!” jawab Vera.
“Tuh kan, bener!”. Aku melotot ke arah Reza yang menahan tawa.
“Sialan loe, Za! Nggak setia kawan loe, buka-buka aib orang!”
Kami tertawa bersama. Meskipun Vera tertawa terbata-bata, dan aku yang masih kesal. Kami seakan hanyut ke dalam arus persahabatan tanpa hulu.
“Heh, ndut! Seharusnya loe terima kasih ke Vera! Dia yang udah manggil tantenya buat ngelatih loe!” kata Reza, setelah kami berhenti tertawa.
“Maksudnya? Mbak yang ngelatih gue itu tantenya Vera?”
Reza mengangguk. Begitu juga Vera.
“Re-za ce-ri-ta ka-la-u di-a pu-nya te-men yang gen-dut ba-nget. I-tu ka-mu. Re-za ta-kut ka-la-u ka-mu ke-na o-be-si-ta-s.” Vera berhenti sejenak. Mengambil nafas lalu mengeluarkannya dan melanjutkan ceritanya. “A-ku re-ko-men-da-si-ka-n bu-at ka-mu la-ti-han fit-nes sa-ma tan-te-ku. Ke-be-tu-lan tan-te-ku in-s-struk-tur fit-nes.” Vera berhenti lagi.
Reza melanjutkan cerita Vera. “Aku dan Vera ngomongin hal ini ke tantenya, dan dia setuju setelah lihat fotomu.” Reza memandang ke arah Vera. Dia tersenyum lembut. Sangat lembut. Senyuman yang tidak pernah diperlihatkannya padaku. Vera membalasnya.
“Jadi, gue kurus itu berkat loe, Ve?” tanyaku tidak percaya.
Vera menggeleng. “Se-mu-a-nya ka-re-na u-sa-ha ka-mu, Yo-na!”.
Aku melamun di perjalanan pulang. Vera yang dulu pernah aku benci, ternyata dalang dibalik berubahnya diriku. Karena kepedulian Vera aku berubah menjadi juliet yang disukai semua orang. Karena kepedulian Vera aku yang The Beast berubah menjadi aku yang The Beauty. Yah, karena kepedulian Vera yang dilandasi dengan cinta.
“Ndut! Loe kenapa?” tanya Reza setengah konsentrasi menyetir.
Aku menoleh. “Loe beneran suka sama Vera?”.
Suasana hening untuk beberapa saat. Tampak wajah Reza sedikit menegang. Matanya berkedip melebihi durasi kedipan orang normal.
“Gue tahu jawabannya!” sahutku tiba-tiba. “Kenapa loe nggak bilang aja ke dia? Mumpung masih ada kesempatan.”
Mobil Reza berhenti mendadak. Wajahnya tampak kacau. “Gue nggak bisa!” jawab Reza.
“Kenapa? Karena dia sakit?”
“Nggak! Gue nggak pernah mempermasalahkan penyakitnya.”
“Terus?”
“Itu karena...” Reza kelihatan bingung. “Karena...” terlihat semakin bimbang.
“Kenapa?” tanyaku tidak sabaran.
“Ndut! Sebenernya gue takut. Gue takut kehilangan dia. Gue takut kalau gue ungkapin perasaan gue, dan di saat itu juga gue kehilangan dia. Gue takut...”
“Za, hidup mati itu di tangan Allah. Kenapa loe harus takut? Kita putar balik ke rumah sakit. Gue mau loe ngomong sejujurnya ke Vera.” Pintaku dengan paksa.
“Nggak! Nggak, ndut. Nggak sekarang!” tolak Reza.
“Kenapa? Loe nggak pengen tahu gimaan perasaan Vera ke loe? Atau loe pengen Vera meninggal tanpa tahu ada cowok yang bener-bener cinta sama dia? Loe juga harus pikirin perasaan Vera, Za!”
“Tapi, ndut...!”
“Itu terserah sama loe!”
Kami terdiam sejenak. Suasana mulai remang-remang di luar. Matahari mulai mengucapkan selamat tinggal untuk hari ini. Dan bulan sudah melambaikan tangannya, say hello pada dunia yang mulai gelap. Tiba-tiba Reza memutar kunci mobilnya. Melesatkannya ke arah belokan dan kembali ke arah rumah sakit. Aku berhasil membujuknya. Dan membujuk hatiku untuk melepaskan cinta pertamaku.
Vera tampak indah dari sini. Tepat di pintu halaman, aku menunggu Reza menyatakan perasaannya pada Vera. Aku rasa aku masih bisa mendengar apa yang mereka katakan. Vera yang semula serius membaca The Secret kesukaannya, merasakan kehadiran Reza disana.
“Re-za, ka-mu be-lu-m pu-la-ng?” tegur Vera masih terbata-bata.
“Ada yang pengen aku omongin ke kamu!” jawab Reza, lembut.
Baru kali ini aku mendengar Reza bilang ‘kamu’.
“a-a-a-pa?” Vera bicara lebih lambat dari biasanya.
“Aku... suka... sama... kamu!”
Vera terdiam. Aku bisa merasakan gelombang keterkejutan di mata Vera. Aku yakin Vera menantikan hal itu. Dan aku yakin, Reza mampu melakukannya.
“Aku tahu semua ini tidak mudah. Tapi apapun yang terjadi, aku tidak akan berjalan di belakangmu untuk mendorong kursi rodamu. Karena aku terlalu takut untuk jauh darimu. Juga bukan berjalan didepanmu untuk menggendongmu. Karena aku takut meninggalkanmu. Aku akan berjalan di sampingmu. Menggenggam tanganmu, melindungimu dan menjagamu. Menemanimu sampai kapanpun yang aku mampu.”
“A-a-a...” Vera berusaha mengatakan sesuatu. Tetapi suaranya tidak mau keluar. Air matanya mengalir begitu saja. Vera mengangkat tangannya yang mulai kaku. Membuat isyarat yang semua orang tahu artinya. Bahasa isyarat yang mengartikan sebuah kata ‘TERIMA KASIH’ yang begitu dalam.
Aku tidak bisa berpikir. Ulangan PKn kali ini bukan yang terbaik yang bisa aku raih. Aku kembali membeli makanan yang dahulu pernah aku makan. Makanan paling berlemak yang pernah dimasak. Gorengan, bakso, mie ayam. Semuanya langsung aku makan dalam waktu yang bersamaan.
“Akh... Ini udah seminggu! Kenapa nggak ada kabar?” teriak Reza yang duduk di sebelahku.
“Masih belum bisa dihubungi?”
Reza menggeleng. “Gue udah ke rumah sakit berkali-kali. Tapi dia nggak ada. Gue telpon nggak diangkat. Bener kan ndut! Apa yang gue takutin terjadi. GUE KEHILANGAN VERA!!!” kata Reza, kesal.
“Udah tanya resepsionis?”
“Belum!”
“Geblek loe!”
Sore itu juga aku dan Reza ke rumah sakit. Dan informasi yang kami dapat adalah informasi paling buruk yang pernah kami dengar. Dua hari yang lalu, Vera mengalami kejang. Dia tersedak saat makan. Itulah penyebabnya. Makanannya menutupi tenggorokannya. Menghalangi pernafasannya. Entah apa yang dirasakannya saat itu. Pasti sangat sakit sekali. Kematiannya begitu cepat. Pertemuanku denganya sangatlah singkat. Apakah persahabatanku sampai disini saja. Di sebuah makam yang masih basah.
Aku berdiri tepat di samping kanan makam yang bertuliskan nama ‘Vera Anggraini’. Seseorang yang pernah membuat aku cemburu sekaligus merubahku menjadi lebih baik. Dan bagi Reza, dia adalah cewek yang pernah membuatnya jatuh cinta. Reza lemas, tertunduk di batu nisan Vera. Air matanya mengalir meski tak terdengar rintihan dari mulutnya.
Perasaan itu datang lagi. Menghampiriku seakan menemukan kesempatan kedua. Rasa cinta yang pertama kali aku rasakan. Yah, mungkin benar apa kata orang. Cinta itu bisa merubah segalanya. Dari yang kecil menjadi besar. Miskin jadi kaya. Bodoh jadi pintar. Jelek jadi cantik. Dan merubah orang sakit seolah-olah sehat. Dan bagiku cinta bisa merubah persahabatan yang biasa menjadi penuh makna.
Kita bisa mencintai seseorang, tapi bukan berarti kita bisa memilikinnya. Cinta itu tidak mudah tapi bukan berarti tidak dapat dipecahkan. Karena cinta bukanlah untuk menerima tapi untuk memberi. Suatu saat aku akan mengerti. Yah, suatu saat. Suatu saat yang pasti.


-The End-

No comments:

Seseorang di kepalaku

Jangan, jangan pergi. Enggak, aku harus pergi. Jangan, kalau aku kesana aku bakal jadi bahan omongan. Ayolah enggak bakal ada yang ...