Saturday, January 9, 2016

Shortcake cinta


Selesai. Semuanya akan selesai sampai disini. Kisahku dan dia, satu-satunya orang yang ada di hatiku selama ini akan berakhir. Aku tidak sanggup membayangkannya. Apa yang akan aku lakukan setelah ini? Tanpanya disisiku, tidak akan ada hal yang menyenangkan lagi. Kehidupanku akan hambar.

***
Pesanan sudah datang. Shortcake strowberry dengan lapisan coklat nikmat di dalamnya siap tersaji di atas meja. Wah, kelihatannya sedap. Bibirku tidak berhenti tersenyum membayangkan betapa lezatnya kue itu saat berada di mulutku.
“Huh, lebay! Hampir setiap hari elo makan itu, kan?”, kata Radit membuyarkan lamunanku.
“Tapi ini kan spesial,” kataku manja, “Spesial kelulusan kita! Sebagai tanda kalau mulai hari ini kita resmi jadi dewasa. Ah, senangnyaaaa!!!”, kataku sambil menggigit kue itu. Hmmm... Lezat!!
“Kita kan baru lulus SMP! Daripada mikirin itu, mending elo mikirin mau SMA dimana!”, balas Radit.
“Emang elo udah tahu mau SMA dimana?”,
Radit meletakkan shortcakenya. Pandangannya mengarah jauh ke luar. Ke arah jalanan yang ramai. Entah apa yang dilakukannya, melamun atau...?
“SMK Teknik Mandiri!”, katanya tiba-tiba dengan bangganya.
Aku terkejut. SMK Teknik? Itu kan sekolah khusus cowok. Tapi kenapa? Dia tidak pernah membicarakan ini denganku. Aku tidak percaya, dia pasti bercanda.
“Gue pingin setelah lulus nanti punya keahlian, mandiri dan bertanggung jawab. Jadi gue memutuskan untuk masuk SMK Teknik.”, kata Radit menjelaskan.
“Apa lo bakal tinggal di asrama?”,
Radit menjauhkan matanya dariku. Dia mengangguk sambil memandang ke luar toko.
“Oh, baguslah kalau begitu! Hahaha...!”, aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Berita ini sangat mengejutkan untukku.
“Jadi lo dukung gue?”,
“Kenapa nggak?”,
“Tapi kita bakalan..... Ah, bagus kalau gitu!”, balas Radit sambil mengacak-acak poniku.
Shortcake strowberry yang semula lezat, berubah menjadi hambar. Suasana yang semula menyenangkan, tiba-tiba berubah canggung. Radit tidak banyak bicara seperti biasanya. Dia bahkan tidak menanyakan dimana aku akan melanjutkan SMA. Apa dia tidak ingin tahu tentang aku? Atau dia memang tidak peduli padaku? Ah... menyebalkan.

 
Malam ini aku tidak bisa tidur. Belasan brosur SMA tercecer di lantai kamar. Dari semua brosur itu tidak ada satupun yang ingin aku masuki. Sekarang yang aku inginkan adalah berubah menjadi laki-laki dan mendaftar di SMK Teknik. Lalu berada di asrama yang sama dengan Radit.
“Apa perlu gue nyamar jadi cowok?”, kataku tiba-tiba. Aku menggeleng, “Ini kan bukan film Hanakimi. Nggak, itu bukan ide yang bagus!”. Badanku berguling-guling tidak karuan. Saat aku mencoba memejamkan mata, bayangan Radit muncul begitu saja. Ah, aku masih tidak bisa tidur.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ada sms dari Radit. Kosong. Tidak tertulis apa-apa disana. Buru-buru aku meneleponnya.
Hallo, Ve! Ada apa malam-malam telpon?”, jawab Radit dari ujung telepon.
“Ada apa?? Seharusnya gue yang bilang gitu! Kenapa elo ngirim sms kosong ke gue?”, kataku dengan nada kesal.
“Gue? SMS elo? Nggak! Gue nggak SMS apa-apa!”, balas Radit.
“Coba lihat di pesan keluar elo!”,
Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara beep beep beberapa kali.
“Dit? Elo masih disitu, kan?”, kataku memastikan keberadaannya.
“Nggak! Nggak ada SMS keluar ke nomor elo, kok!”, jawab Radit.
“Oh, gitu? Yaudah! Bye..”, kataku sambil menutup telpon.
Pikiranku mulai kacau. Kalau bukan Radit yang SMS, lalu siapa? Jelas-jelas itu nomor Radit. Apa Radit bohong? Atau... Ah mungkin dia sedang menggodaku. Dia kan jahil.
Akhirnya aku dapat sekolah juga. Hari ini aku dan ibu pergi kesana untuk mengurus pendaftaraannya. Setelah itu aku sudah resmi menjadi anak SMA. Walaupun tanpa Radit yang satu sekolah apalagi sekelas denganku, aku akan berusaha untuk lulus dengan baik. Ah, ini harus dirayakan. Ya, perayaan terakhir kami.
Aku menyuruh ibu untuk pulang terlebih dahulu. Sedangkan aku pergi ke toko kue tempat biasa kami nongkrong. Tidak jauh dari toko kue itu, aku berniat menelepon Radit. Menyuruhnya segera datang kesini dan merayakan perpisahan kami.
Belum sempat telponku terjawab, aku segera memutusnya. Mataku tiba-tiba tidak bisa berkedip. Dadaku rasanya sakit. Apa ini? Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Aku melihat Radit keluar dari toko kue itu bersama seorang cewek. Aku mengenalinya. Dia Siska.
Aku pergi. Berlari menjauh dari mereka. Aku tidak mau jadi pengacau. Radit terlihat sangat bahagia. Begitu juga Siska. Mereka pasti sudah jadian. Ah, kenapa Radit tidak pernah cerita padaku tentang ini? Ah, kenapa juga hatiku jadi sakit. Ah, ada apa denganku. Aku sama sekali tidak bisa berpikir.
Langkahku terhenti di sebuah jembatan. Bayangan Radit dan Siska muncul di pikiranku. Kenapa harus Siska? Kalau cewek lain aku masih bisa bersaing, tapi Siska. Dia terlalu sempurna. Aku tidak akan mampu bersaing dengannya.
Aku menangis. Ya, air mata itu jatuh begitu saja. Aku menengok ke langit. Tidak ada hujan. Langit masih cerah. Hanya beberapa goresan orange yang indah. Tapi hatiku serasa mendung. Tidak bergairah.
“Hei!”, seseorang menyapaku tiba-tiba. Dia memberiku sebuah kotak berisi shortcake strowberry kesukaanku.
“Radit?”, aku segera merapikan wajahku.
“Kenapa lari?”,
“Eh? Elo tahu?”,
“Ya, gue ngeliat elo tadi. Karena itu gue kesini!”, Radit menatapku. “Tadi elo juga telpon gue, kan? Ada apa?”,
“Oh, itu! Um, nggak! Nggak ada apa-apa, kok! Lupain aja!”, jawabku sekenanya.
Radit menyandarkan tubuhnya ke pagar jembatan.
“Dia...!”, belum sempat aku bertanya Radit memotong.
“Tadi Siska nembak gue!”, katanya.
“Hah? Selamat, ya!”, kataku kegirangan. Lebih tepatnya pura-pura girang.
“Gue tolak, kok!”, sahut Radit mengejutkan aku. “Gue bilang kalau gue suka sama orang lain!”,
“Ah, kenapa elo tolak? Dia kan...Tunggu! Elo suka sama orang lain?”,
Radit menatapku. Dia mengangguk sambil tersenyum, membuatku penasaran. Tapi aku tidak berani bertanya, siapa orang itu.
“Ooohhh...!”, aku membuang pandanganku ke tempat lain sambil memakan shortcake pemberian Radit.
“Elo nggak tanya siapa orangnya?”,
“Buat apa?”, balasku cuek. Aku tidak berani membalas tatapannya.
“Hei!”, panggilnya sambil menepuk bahuku. Aku menoleh.
Tiba-tiba....
Aku tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Radit tersenyum puas. Sedangkan aku masih bengong, tidak tahu harus bagaimana.
“Karena gue suka sama elo!”, bisik Radit tepat di depanku.
Suara itu sangat lembut. Masuk melewati lubang telingaku dan menancap di otakku. Memerintah bibirku untuk terseyum. Dan mengirimkan sinyal kebahagiaan ke dalam rongga-rongga hatiku. Jantungku terpompa begitu bersemangat, mengalirkan darah yang penuh dengan oksigen ke seluruh tubuhku. Itu adalah ciuman pertamaku.

***
Selesai. Semuanya akan selesai sampai disini. Kisahku dan dia, satu-satunya orang yang ada di hatiku selama ini akan berakhir. Aku tidak sanggup membayangkannya. Apa yang akan aku lakukan setelah ini? Tanpanya disisiku, tidak akan ada hal yang menyenangkan lagi. Kehidupanku akan hambar.
Radit menghampiriku.
“Ini!”, katanya sambil mengulurkan sebuah kotak berisi...
“Shortcake strowberry?”, tanyaku heran.
 “Dengan lapisan coklat nikmat didalamnya. Kelihatannya lezat, kan?”, katanya, “Ekspresi itu yang membuat gue jatuh cinta sama elo. Jadi, jangan pernah berubah selama gue ada di asrama! Gue nggak mau orang lain selain elo yang tinggal di hati gue!”.
“Nggak!”, aku menggeleng.
“Eh?”,
“Gue nggak mau pergi dari hati elo!”, kataku.
Kami tertawa bersama. Tidak peduli sejauh apa jarak kami, dia akan tetap ada di hatiku. Dan aku tidak akan pernah mau pergi dari hatinya. Entahlah apa yang akan mengganggu kami setelah ini, tapi aku yakin bahwa kami ditakdirkan untuk bersama. Aku dan Radit, dan shortcake strowberry itu.
~E N D~

No comments:

Seseorang di kepalaku

Jangan, jangan pergi. Enggak, aku harus pergi. Jangan, kalau aku kesana aku bakal jadi bahan omongan. Ayolah enggak bakal ada yang ...