Selesai. Semuanya akan selesai
sampai disini. Kisahku dan dia, satu-satunya orang yang ada di hatiku selama
ini akan berakhir. Aku tidak sanggup membayangkannya. Apa yang akan aku lakukan
setelah ini? Tanpanya disisiku, tidak akan ada hal yang menyenangkan lagi.
Kehidupanku akan hambar.
***
Pesanan sudah datang. Shortcake
strowberry dengan lapisan coklat nikmat di dalamnya siap tersaji di atas meja.
Wah, kelihatannya sedap. Bibirku tidak berhenti tersenyum membayangkan betapa
lezatnya kue itu saat berada di mulutku.
“Huh, lebay! Hampir setiap hari elo
makan itu, kan?”, kata Radit membuyarkan lamunanku.
“Tapi ini kan spesial,” kataku
manja, “Spesial kelulusan kita! Sebagai tanda kalau mulai hari ini kita resmi
jadi dewasa. Ah, senangnyaaaa!!!”, kataku sambil menggigit kue itu. Hmmm...
Lezat!!
“Kita kan baru lulus SMP! Daripada
mikirin itu, mending elo mikirin mau SMA dimana!”, balas Radit.
“Emang elo udah tahu mau SMA
dimana?”,
Radit meletakkan shortcakenya.
Pandangannya mengarah jauh ke luar. Ke arah jalanan yang ramai. Entah apa yang
dilakukannya, melamun atau...?
“SMK Teknik Mandiri!”, katanya
tiba-tiba dengan bangganya.
Aku terkejut. SMK Teknik? Itu kan
sekolah khusus cowok. Tapi kenapa? Dia tidak pernah membicarakan ini denganku.
Aku tidak percaya, dia pasti bercanda.
“Gue pingin setelah lulus nanti
punya keahlian, mandiri dan bertanggung jawab. Jadi gue memutuskan untuk masuk
SMK Teknik.”, kata Radit menjelaskan.
“Apa lo bakal tinggal di asrama?”,
Radit menjauhkan matanya dariku.
Dia mengangguk sambil memandang ke luar toko.
“Oh, baguslah kalau begitu!
Hahaha...!”, aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Berita ini sangat
mengejutkan untukku.
“Jadi lo dukung gue?”,
“Kenapa nggak?”,
“Tapi kita bakalan..... Ah, bagus
kalau gitu!”, balas Radit sambil mengacak-acak poniku.
Shortcake strowberry yang semula
lezat, berubah menjadi hambar. Suasana yang semula menyenangkan, tiba-tiba
berubah canggung. Radit tidak banyak bicara seperti biasanya. Dia bahkan tidak
menanyakan dimana aku akan melanjutkan SMA. Apa dia tidak ingin tahu tentang
aku? Atau dia memang tidak peduli padaku? Ah... menyebalkan.
Malam ini aku tidak bisa tidur.
Belasan brosur SMA tercecer di lantai kamar. Dari semua brosur itu tidak ada
satupun yang ingin aku masuki. Sekarang yang aku inginkan adalah berubah
menjadi laki-laki dan mendaftar di SMK Teknik. Lalu berada di asrama yang sama
dengan Radit.
“Apa perlu gue nyamar jadi cowok?”,
kataku tiba-tiba. Aku menggeleng, “Ini kan bukan film Hanakimi. Nggak, itu bukan ide yang bagus!”. Badanku
berguling-guling tidak karuan. Saat aku mencoba memejamkan mata, bayangan Radit
muncul begitu saja. Ah, aku masih tidak bisa tidur.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ada
sms dari Radit. Kosong. Tidak tertulis apa-apa disana. Buru-buru aku
meneleponnya.
“Hallo, Ve! Ada apa malam-malam telpon?”, jawab Radit dari ujung telepon.
“Ada apa?? Seharusnya gue yang
bilang gitu! Kenapa elo ngirim sms kosong ke gue?”, kataku dengan nada kesal.
“Gue?
SMS elo? Nggak! Gue nggak SMS apa-apa!”, balas Radit.
“Coba lihat di pesan keluar elo!”,
Tidak ada jawaban, hanya terdengar
suara beep beep beberapa kali.
“Dit? Elo masih disitu, kan?”,
kataku memastikan keberadaannya.
“Nggak!
Nggak ada SMS keluar ke nomor elo, kok!”, jawab Radit.
“Oh, gitu? Yaudah! Bye..”, kataku
sambil menutup telpon.
Pikiranku mulai kacau. Kalau bukan
Radit yang SMS, lalu siapa? Jelas-jelas itu nomor Radit. Apa Radit bohong?
Atau... Ah mungkin dia sedang menggodaku. Dia kan jahil.
Akhirnya aku dapat sekolah juga.
Hari ini aku dan ibu pergi kesana untuk mengurus pendaftaraannya. Setelah itu
aku sudah resmi menjadi anak SMA. Walaupun tanpa Radit yang satu sekolah apalagi
sekelas denganku, aku akan berusaha untuk lulus dengan baik. Ah, ini harus
dirayakan. Ya, perayaan terakhir kami.
Aku menyuruh ibu untuk pulang
terlebih dahulu. Sedangkan aku pergi ke toko kue tempat biasa kami nongkrong. Tidak
jauh dari toko kue itu, aku berniat menelepon Radit. Menyuruhnya segera datang
kesini dan merayakan perpisahan kami.
Belum sempat telponku terjawab, aku
segera memutusnya. Mataku tiba-tiba tidak bisa berkedip. Dadaku rasanya sakit.
Apa ini? Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Aku melihat Radit keluar
dari toko kue itu bersama seorang cewek. Aku mengenalinya. Dia Siska.
Aku pergi. Berlari menjauh dari
mereka. Aku tidak mau jadi pengacau. Radit terlihat sangat bahagia. Begitu juga
Siska. Mereka pasti sudah jadian. Ah, kenapa Radit tidak pernah cerita padaku
tentang ini? Ah, kenapa juga hatiku jadi sakit. Ah, ada apa denganku. Aku sama
sekali tidak bisa berpikir.
Langkahku terhenti di sebuah
jembatan. Bayangan Radit dan Siska muncul di pikiranku. Kenapa harus Siska?
Kalau cewek lain aku masih bisa bersaing, tapi Siska. Dia terlalu sempurna. Aku
tidak akan mampu bersaing dengannya.
Aku menangis. Ya, air mata itu
jatuh begitu saja. Aku menengok ke langit. Tidak ada hujan. Langit masih cerah.
Hanya beberapa goresan orange yang indah. Tapi hatiku serasa mendung. Tidak
bergairah.
“Hei!”, seseorang menyapaku
tiba-tiba. Dia memberiku sebuah kotak berisi shortcake strowberry kesukaanku.
“Radit?”, aku segera merapikan
wajahku.
“Kenapa lari?”,
“Eh? Elo tahu?”,
“Ya, gue ngeliat elo tadi. Karena
itu gue kesini!”, Radit menatapku. “Tadi elo juga telpon gue, kan? Ada apa?”,
“Oh, itu! Um, nggak! Nggak ada
apa-apa, kok! Lupain aja!”, jawabku sekenanya.
Radit menyandarkan tubuhnya ke
pagar jembatan.
“Dia...!”, belum sempat aku
bertanya Radit memotong.
“Tadi Siska nembak gue!”, katanya.
“Hah? Selamat, ya!”, kataku
kegirangan. Lebih tepatnya pura-pura girang.
“Gue tolak, kok!”, sahut Radit
mengejutkan aku. “Gue bilang kalau gue suka sama orang lain!”,
“Ah, kenapa elo tolak? Dia
kan...Tunggu! Elo suka sama orang lain?”,
Radit menatapku. Dia mengangguk
sambil tersenyum, membuatku penasaran. Tapi aku tidak berani bertanya, siapa
orang itu.
“Ooohhh...!”, aku membuang
pandanganku ke tempat lain sambil memakan shortcake pemberian Radit.
“Elo nggak tanya siapa orangnya?”,
“Buat apa?”, balasku cuek. Aku
tidak berani membalas tatapannya.
“Hei!”, panggilnya sambil menepuk
bahuku. Aku menoleh.
Tiba-tiba....
Aku tidak percaya dengan apa yang
barusan terjadi. Radit tersenyum puas. Sedangkan aku masih bengong, tidak tahu
harus bagaimana.
“Karena gue suka sama elo!”, bisik
Radit tepat di depanku.
Suara itu sangat lembut. Masuk
melewati lubang telingaku dan menancap di otakku. Memerintah bibirku untuk
terseyum. Dan mengirimkan sinyal kebahagiaan ke dalam rongga-rongga hatiku. Jantungku
terpompa begitu bersemangat, mengalirkan darah yang penuh dengan oksigen ke
seluruh tubuhku. Itu adalah ciuman pertamaku.
***
Selesai. Semuanya akan selesai
sampai disini. Kisahku dan dia, satu-satunya orang yang ada di hatiku selama
ini akan berakhir. Aku tidak sanggup membayangkannya. Apa yang akan aku lakukan
setelah ini? Tanpanya disisiku, tidak akan ada hal yang menyenangkan lagi.
Kehidupanku akan hambar.
Radit menghampiriku.
“Ini!”, katanya sambil mengulurkan
sebuah kotak berisi...
“Shortcake strowberry?”, tanyaku
heran.
“Dengan lapisan coklat nikmat didalamnya.
Kelihatannya lezat, kan?”, katanya, “Ekspresi itu yang membuat gue jatuh cinta
sama elo. Jadi, jangan pernah berubah selama gue ada di asrama! Gue nggak mau
orang lain selain elo yang tinggal di hati gue!”.
“Nggak!”, aku menggeleng.
“Eh?”,
“Gue nggak mau pergi dari hati
elo!”, kataku.
Kami tertawa bersama. Tidak peduli
sejauh apa jarak kami, dia akan tetap ada di hatiku. Dan aku tidak akan pernah
mau pergi dari hatinya. Entahlah apa yang akan mengganggu kami setelah ini,
tapi aku yakin bahwa kami ditakdirkan untuk bersama. Aku dan Radit, dan
shortcake strowberry itu.
~E N D~
No comments:
Post a Comment