Butuh
waktu lama untuk membuat mereka diam. Tapi akhirnya mereka bungkam juga. Anak
baru itu dipersilahkan duduk di bangku kosong disamping Evan. Sontak saja Evan
bahagia, membuat iri cowok lain di kelas.
“Hai,
kenalin gue Evan!” kata Evan malu-malu.
Cewek
itu tersenyum. Membuat Evan semakin jatuh cinta. Dia punya gigi gingsul yang
indah yang membuat senyumnya semakin terlihat manis. Mereka berjabatan.
Tanganya lembut dan terasa dingin saat menyentuh kulit Evan.
“Elisa!”
jawab cewek itu.
Karena
duduk berdekeatan, mereka sering mengobrol, tetapi dia tidak pernah
membicarakan keluarganya. Dalam segi akademik, bisa dibilang Elisa anak yang
jenius. Dia sudah mampu mengejar ketertinggalan. Hal itu membuat Evan semakin
kagum. Sebuah benih cinta pun tumbuh di hatinya.
Pagi-pagi
sekali Evan sudah berangkat. Padahal hari ini bukan jadwal piketnya. Evan segera
menuju kelas. Dia mengeluarkan kertas dan bolpoin. Tanpa membuang waktu Evan
menenggelamkan diri kedalam tulisannya.
“Ngerjain
apa?” sapa Elisa yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Hal
itu membuat konsentrasi Evan buyar. Dia menoleh. “Elisa? Sejak kapan elo
disini?”
“Gue
baru dateng kok!” Elisa terenyum. Dia duduk di samping Evan, “Ngerjain apa?”.
“Oh
ini, tugas esay Bahasa Inggris! Semalem gue lupa buat!!”
“Mau
gue bantu!” Elisa menarik buku Evan. Mengoreksi tulisannya yang amburadul.
Bukan
sulap bukan sihir, pekerjaan Evan selesai lebih cepat. Dan yang paling ajaib
tulisannya benar-benar rapi. Dia yakin bakal dapet nilai bagus nanti.
Kebahagiaan terpancar di wajahnya.
Semakin
hari, Elisa dan Evan semakin dekat. Perasaan Evan semakin lama semakin dalam.
Rasanya hampir meledak. Apalagi kalau mereka sedang bercanda. Saat melihat
Elisa tertawa lepas, serasa dunia miliknya dan Elisa seorang.
Bintang
yang bersinar lebih terang dari biasanya. Walaupun masih sering berkompetisi
siapa yang paling cerah, mereka tetap berjejer rapi di langit. Secara tiba-tiba,
bayangan Elisa muncul. Seolah tidak percaya Evan mengusap matanya.
“Ih,
kok jadi mikirin Elisa?” Guman Evan sendirian di balkon rumahnya.
Jam
menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi mata Evan masih tetap terjaga. Evan
melirik ke arah jalanan di depan rumah. Sepi. Terdengar lolongan anjing. Lama
kelamaan Evan bosan bengong sendirian. Dia memutuskan mencari makanan di depan
kompleks rumahnya.
Beberapa
rumah masih terang, sedangkan sisanya gelap. Hanya lampu taman dan lampu
jalanan yang menjadi penerangnya saat ini. Dia berjalan seolah tidak ada
akhirnya. Ditatapnya lurus kedepan. Perjalanan masih panjang. Evan seolah
berada di sebuah lubang yang sangat dalam. Hitam gelap. Tidak berujung.
GUBBRRAAAKKK...
“Elisa?”
katanya kaget. Sosok cewek yang baru saja menghiasi alam bawah sadarnya muncul.
Cewek
itu tidak bicara sepatah katapun. Dia juga kelihatan kaget. Matanya menatap
Evan tajam. Wajahnya memang sangat mirip dengan Elisa.
“Elo
ngapain malem-malem disini? Tunggu...!” Evan melihat ada darah dipipi cewek
itu, “Pipi elo... berdarah!”. Sebelum sempat menyentuh wajahnya, tangan Evan
dihalau keras. Desahan nafasnya terdengar.
Tanpa
merespon apa-apa dia pergi. Evan mencoba mengejar, tapi cewek itu menghilang dengan
cepat. Nafas Evan naik turun. Begitu juga dengan degupan jantungnya. Dia yakin
kalau cewek itu Elisa.
Keesokan
harinya Evan menanyakan kejadian semalam. Elisa mengelak. Sikapnya berubah. Dia
tidak seperti Elisa yang biasanya. Seperti ada yang disembunyikan.
Di
kelas Elisa hanya diam. Saat jam istirahat dia langsung menghilang. Evan
berusaha mencarinya ke seluruh sudut sekolah, tapi tidak menemukannya. ‘Apakah
Elisa marah? Apa dia tersinggung?’ pikir Evan dalam hati. Dia merasa bersalah.
Dia ingin minta maaf dan berjanji tidak akan mengusiknya lagi.
Di
setiap tempat dia telusuri. Di kantin, halaman sekolah, perpustakaan bahkan
Evan memberanikan diri mencari di toilet cewek. Alhasil dia dihukum dan diskors
satu hari.
Hukuman
yang lumayan menyiksa. Satu hari rasanya sangat lama. Bingung, mau apa dia
dirumah, dihantui rasa bersalah. Dia tidak bisa bertemu Elisa dan meminta maaf.
Hari
berikutnya Evan beharap bisa bertemu Elisa di sekolah dan segera meminta maaf.
Tetapi...
“Hah?
Elisa nggak masuk?” bentak Evan ke salah satu teman sekelasnya.
“Iya!
Kemarin dia juga nggak masuk! Denger-denger sih dia mau pindah sekolah lagi!”
“Eh,
kenapa? Dia kan baru pindah, kok udah pindah lagi!”
“Mana
gue tahu, elo tanya aja keluarganya jangan tanya gue!”
Virus
galau melanda. Evan gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Dia menghubungi wali
kelasnya, menanyakan dimana alamat Elisa. Saat dikunjungi Evan hanya menemukan
lahan kosong yang penuh dengan semak belukar.
Evan
pasrah. Dia menyerah. Sia-sia sudah semua pencariannya. Di lahan kosong itu,
suara jangkrik terdengar bersahut-sahutan. Menyambut datangnya rembulan dan
beberapa kawan bintangnya. Mengiringi kepergian sang surya.
Suara
langkah kaki terdengar. Semakin lama suaranya semakin jelas. Evan menoleh ke
arah sumber suara itu.
“Elisa?”
Evan terkejut. Cewek yang dicarinya datang.
Elisa
berdiri tepat di depan Evan. “Sorry, gue pergi nggak pamit dulu! Elo pasti
pusing nyariin gue kan?” balasnya sambil tersenyum manis.
Evan
tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Tanpa berkata apa-apa, Evan meraih pundak
Elisa dan memeluknya erat. Evan merasakan tubuh Elisa sangat dingin. Lebih
dingin dari es.
“Kemana
aja elo, Lis!” kata Evan masih memeluk Elisa, “Maafin gue, Lis! Gue merasa
bersalah, nggak seharusnya gue tanya hal yang nggak penting kayak gitu! Gue
minta maaf.”
“Elo
nggak ngelakuin kesalahan apa-apa kok!” Elisa tersenyum.
Evan
melepaskan tangannya. Membiarkan Elisa bernafas lebih lega.
“Terus
kenapa elo menghilang gitu aja? Kata anak-anak, elo bakal pindah sekolah lagi?”
Sekali
lagi Elisa tertawa. “Gue ada urusan keluarga!” jawab Elisa, “Dan hal itu
mengharuskan gue pergi ke tempat yang baru.”
“Maksudnya,
elo beneran mau pindah sekolah ?”
Elisa
mengangguk. Evan terduduk lemas. Susana hening seketika. Tidak ada yang bicara.
“Elisa!”
“Evan!”
Mereka
memanggil hampir bersamaan.
“Biar
gue dulu!” pinta Elisa. “Ada sesuatu yang pengen gue tunjukin ke elo!” wajah
Elisa berubah serius. Elisa melangkah menjauhi Evan. Berbalik membelakanginya.
“Apa
itu?”
“Cewek
yang elo temuin malam itu adalah...gue. Bekas darah di pipi gue waktu itu bukan
darah gue. Elo mungkin nggak percaya, tapi gue nyata. Keluarga gue memang ada. Kehidupan
kita berbeda” Elisa masih membelakangi Evan. Rambut panjangnya berkibar seperti
dedaunan yang digerakkan angin.
Tangan
Elisa mengepal. Dia berbalik. Berubah menjadi sosok mengerikan. Evan kaget, meloncat
dan jatuh. “Elo siapa?” bentaknya tidak percaya.
Elisa
menyeringai seperti serigala. Gigi gingsulnya berubah menjadi taring panjang
dan tajam mengkilat. Bola matanya memerah. Wajahnya sangat mengerikan.
“Ini
gue! Elisa yang asli!” katanya.
“Gue
nggak percaya?” teriak Evan. Dia ketakutan. Tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya.
Evan
berdiri dan bergegas lari. Menjauh dari makhluk mengerikan itu. Tapi Elisa
mencegahnya lebih dulu. Dia berdiri tepat di depan Evan. Wajahnya sangat dekat
dengan wajah Evan yang ketakutan.
“Gue
udah tau elo bakal takut ngeliat wajah asli gue.” kata Elisa.
Tangan
Evan gemetaran. Bibirnya kebiru-biruan. Keringat mengucur dari pelipisnya. Mata
Elisa menusuk tajam ke arahnya.
Evan
memberanikan diri balas menatapnya. Mencari kebenaran, berharap itu bukan
Elisa. Tapi dia melihat bayangan Elisa. Senyuman Elisa, tatapan Elisa, gurauan
Elisa, keramahan Elisa, semua milik Elisa. Dia memang Elisa. Cewek yang
dicintainya. Cewek yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Cewek yang
menghilangkan nafsu makannya. Cewek yang selalu berputar-putar di otaknya.
“Elisa,
elo emang Elisa. Tapi kenapa?” Evan tertunduk lesu.
Elisa
menjauhkan. Matanya berkaca-kaca, “Gue sayang sama elo, Van! Tapi gue sadar
cinta ini terlarang! Kita berasal dari dunia berbeda. Kita nggak bisa hidup
bersama.”
“Nggak,
kita bisa! Elo liat film Twilight? Semula gue nggak percaya itu nyata, tapi
sekarang gue yakin kalau itu memang ada. Dan kita... kita bisa bersama! Karena
gue juga sayang sama elo. Gue cinta sama makhluk apapun elo.”
“Sayangnya
ini bukan film,” Elisa mencoba tenang. Dia mendekat, merunduk setengah berdiri
di depan Evan. “Udah waktunya! Biarin gue melakukan apa yang harus gue lakuin.
Ini demi keselamatan kita semua.”
“Elo
mau ngapain?”
Elisa
tidak menjawab. Dia meraih leher Evan, “Biarkan gue merasakan cinta yang
mengalir di darah elo. Dan setelah itu... elo akan melupakan semua tentang
gue!”
Elisa
menancapkan taringnya ke leher Evan. Merasakan setiap tetesan darah Evan. Dia
tidak membiarkan Evan menghentikannya, walaupun dia tahu Evan meronta kesakitan.
Air matanya menetes.
“Nggak
Lis, gue nggak mau ngelupain elo!” kata Evan lirih. Tubuhnya lemah.
Pandangannya mulai samar. Lalu berubah menjadi gelap. Sudah cukup banyak
darahnya yang terhisap. Di sisa tenaganya dia berbisik, “Gue sayang elo, Elisa.
Walaupun elo seorang vampir.” katanya. Evan terkulai lemah, tidak berdaya.
Air
mata Elisa mengalir deras. Tapi dia belum selesai sampai semua tentangnya
terhapus. Elisa terus menghisap darah Evan.
Hari-hari
berlalu seperti biasa. Evan benar-benar melupakan Elisa. Begitu juga teman
sekelas dan orang-orang yang pernah berhubungan dengan Elisa. Seolah-olah tidak
pernah ada cewek bernama Elisa yang masuk ke kehidupan mereka.
oOo
THE END oOo
No comments:
Post a Comment