Saturday, January 16, 2016

Albino yang Misterius

Seorang cewek albino berambut pirang masuk dan mempekenalkan dirinya. Keramaian pun muncul. Kelas yang semula sunyi berubah ricuh. Seperti demo mahasiswa yang terjadi belakangan ini. Apalagi anak cowok. Kalau ada yang bening sedikit saja sudah seperti orang kesurupan. Teriak sana sini cuma mau cari perhatian.
Butuh waktu lama untuk membuat mereka diam. Tapi akhirnya mereka bungkam juga. Anak baru itu dipersilahkan duduk di bangku kosong disamping Evan. Sontak saja Evan bahagia, membuat iri cowok lain di kelas.
“Hai, kenalin gue Evan!” kata Evan malu-malu.
Cewek itu tersenyum. Membuat Evan semakin jatuh cinta. Dia punya gigi gingsul yang indah yang membuat senyumnya semakin terlihat manis. Mereka berjabatan. Tanganya lembut dan terasa dingin saat menyentuh kulit Evan.
“Elisa!” jawab cewek itu.
Karena duduk berdekeatan, mereka sering mengobrol, tetapi dia tidak pernah membicarakan keluarganya. Dalam segi akademik, bisa dibilang Elisa anak yang jenius. Dia sudah mampu mengejar ketertinggalan. Hal itu membuat Evan semakin kagum. Sebuah benih cinta pun tumbuh di hatinya.
Pagi-pagi sekali Evan sudah berangkat. Padahal hari ini bukan jadwal piketnya. Evan segera menuju kelas. Dia mengeluarkan kertas dan bolpoin. Tanpa membuang waktu Evan menenggelamkan diri kedalam tulisannya.
“Ngerjain apa?” sapa Elisa yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Hal itu membuat konsentrasi Evan buyar. Dia menoleh. “Elisa? Sejak kapan elo disini?”
“Gue baru dateng kok!” Elisa terenyum. Dia duduk di samping Evan, “Ngerjain apa?”.
“Oh ini, tugas esay Bahasa Inggris! Semalem gue lupa buat!!”
“Mau gue bantu!” Elisa menarik buku Evan. Mengoreksi tulisannya yang amburadul.
Bukan sulap bukan sihir, pekerjaan Evan selesai lebih cepat. Dan yang paling ajaib tulisannya benar-benar rapi. Dia yakin bakal dapet nilai bagus nanti. Kebahagiaan terpancar di wajahnya.
Semakin hari, Elisa dan Evan semakin dekat. Perasaan Evan semakin lama semakin dalam. Rasanya hampir meledak. Apalagi kalau mereka sedang bercanda. Saat melihat Elisa tertawa lepas, serasa dunia miliknya dan Elisa seorang.
Bintang yang bersinar lebih terang dari biasanya. Walaupun masih sering berkompetisi siapa yang paling cerah, mereka tetap berjejer rapi di langit. Secara tiba-tiba, bayangan Elisa muncul. Seolah tidak percaya Evan mengusap matanya.
“Ih, kok jadi mikirin Elisa?” Guman Evan sendirian di balkon rumahnya.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi mata Evan masih tetap terjaga. Evan melirik ke arah jalanan di depan rumah. Sepi. Terdengar lolongan anjing. Lama kelamaan Evan bosan bengong sendirian. Dia memutuskan mencari makanan di depan kompleks rumahnya.
Beberapa rumah masih terang, sedangkan sisanya gelap. Hanya lampu taman dan lampu jalanan yang menjadi penerangnya saat ini. Dia berjalan seolah tidak ada akhirnya. Ditatapnya lurus kedepan. Perjalanan masih panjang. Evan seolah berada di sebuah lubang yang sangat dalam. Hitam gelap. Tidak berujung.
GUBBRRAAAKKK...
Evan menabrak sesuatu. Dia terjatuh.

 
“Elisa?” katanya kaget. Sosok cewek yang baru saja menghiasi alam bawah sadarnya muncul.
Cewek itu tidak bicara sepatah katapun. Dia juga kelihatan kaget. Matanya menatap Evan tajam. Wajahnya memang sangat mirip dengan Elisa.
“Elo ngapain malem-malem disini? Tunggu...!” Evan melihat ada darah dipipi cewek itu, “Pipi elo... berdarah!”. Sebelum sempat menyentuh wajahnya, tangan Evan dihalau keras. Desahan nafasnya terdengar.
Tanpa merespon apa-apa dia pergi. Evan mencoba mengejar, tapi cewek itu menghilang dengan cepat. Nafas Evan naik turun. Begitu juga dengan degupan jantungnya. Dia yakin kalau cewek itu Elisa.
Keesokan harinya Evan menanyakan kejadian semalam. Elisa mengelak. Sikapnya berubah. Dia tidak seperti Elisa yang biasanya. Seperti ada yang disembunyikan.
Di kelas Elisa hanya diam. Saat jam istirahat dia langsung menghilang. Evan berusaha mencarinya ke seluruh sudut sekolah, tapi tidak menemukannya. ‘Apakah Elisa marah? Apa dia tersinggung?’ pikir Evan dalam hati. Dia merasa bersalah. Dia ingin minta maaf dan berjanji tidak akan mengusiknya lagi.
Di setiap tempat dia telusuri. Di kantin, halaman sekolah, perpustakaan bahkan Evan memberanikan diri mencari di toilet cewek. Alhasil dia dihukum dan diskors satu hari.
Hukuman yang lumayan menyiksa. Satu hari rasanya sangat lama. Bingung, mau apa dia dirumah, dihantui rasa bersalah. Dia tidak bisa bertemu Elisa dan meminta maaf.
Hari berikutnya Evan beharap bisa bertemu Elisa di sekolah dan segera meminta maaf. Tetapi...
“Hah? Elisa nggak masuk?” bentak Evan ke salah satu teman sekelasnya.
“Iya! Kemarin dia juga nggak masuk! Denger-denger sih dia mau pindah sekolah lagi!”
“Eh, kenapa? Dia kan baru pindah, kok udah pindah lagi!”
“Mana gue tahu, elo tanya aja keluarganya jangan tanya gue!”
Virus galau melanda. Evan gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Dia menghubungi wali kelasnya, menanyakan dimana alamat Elisa. Saat dikunjungi Evan hanya menemukan lahan kosong yang penuh dengan semak belukar.
Evan pasrah. Dia menyerah. Sia-sia sudah semua pencariannya. Di lahan kosong itu, suara jangkrik terdengar bersahut-sahutan. Menyambut datangnya rembulan dan beberapa kawan bintangnya. Mengiringi kepergian sang surya.
Suara langkah kaki terdengar. Semakin lama suaranya semakin jelas. Evan menoleh ke arah sumber suara itu.
“Elisa?” Evan terkejut. Cewek yang dicarinya datang.
Elisa berdiri tepat di depan Evan. “Sorry, gue pergi nggak pamit dulu! Elo pasti pusing nyariin gue kan?” balasnya sambil tersenyum manis.
Evan tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Tanpa berkata apa-apa, Evan meraih pundak Elisa dan memeluknya erat. Evan merasakan tubuh Elisa sangat dingin. Lebih dingin dari es.
“Kemana aja elo, Lis!” kata Evan masih memeluk Elisa, “Maafin gue, Lis! Gue merasa bersalah, nggak seharusnya gue tanya hal yang nggak penting kayak gitu! Gue minta maaf.”
“Elo nggak ngelakuin kesalahan apa-apa kok!” Elisa tersenyum.
Evan melepaskan tangannya. Membiarkan Elisa bernafas lebih lega.
“Terus kenapa elo menghilang gitu aja? Kata anak-anak, elo bakal pindah sekolah lagi?”
Sekali lagi Elisa tertawa. “Gue ada urusan keluarga!” jawab Elisa, “Dan hal itu mengharuskan gue pergi ke tempat yang baru.”
“Maksudnya, elo beneran mau pindah sekolah ?”
Elisa mengangguk. Evan terduduk lemas. Susana hening seketika. Tidak ada yang bicara.
“Elisa!”
 “Evan!”
Mereka memanggil hampir bersamaan.
“Biar gue dulu!” pinta Elisa. “Ada sesuatu yang pengen gue tunjukin ke elo!” wajah Elisa berubah serius. Elisa melangkah menjauhi Evan. Berbalik membelakanginya.
“Apa itu?”
“Cewek yang elo temuin malam itu adalah...gue. Bekas darah di pipi gue waktu itu bukan darah gue. Elo mungkin nggak percaya, tapi gue nyata. Keluarga gue memang ada. Kehidupan kita berbeda” Elisa masih membelakangi Evan. Rambut panjangnya berkibar seperti dedaunan yang digerakkan angin.
Tangan Elisa mengepal. Dia berbalik. Berubah menjadi sosok mengerikan. Evan kaget, meloncat dan jatuh. “Elo siapa?” bentaknya tidak percaya.
Elisa menyeringai seperti serigala. Gigi gingsulnya berubah menjadi taring panjang dan tajam mengkilat. Bola matanya memerah. Wajahnya sangat mengerikan.
“Ini gue! Elisa yang asli!” katanya.
“Gue nggak percaya?” teriak Evan. Dia ketakutan. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Evan berdiri dan bergegas lari. Menjauh dari makhluk mengerikan itu. Tapi Elisa mencegahnya lebih dulu. Dia berdiri tepat di depan Evan. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Evan yang ketakutan.
“Gue udah tau elo bakal takut ngeliat wajah asli gue.” kata Elisa.
Tangan Evan gemetaran. Bibirnya kebiru-biruan. Keringat mengucur dari pelipisnya. Mata Elisa menusuk tajam ke arahnya.
Evan memberanikan diri balas menatapnya. Mencari kebenaran, berharap itu bukan Elisa. Tapi dia melihat bayangan Elisa. Senyuman Elisa, tatapan Elisa, gurauan Elisa, keramahan Elisa, semua milik Elisa. Dia memang Elisa. Cewek yang dicintainya. Cewek yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Cewek yang menghilangkan nafsu makannya. Cewek yang selalu berputar-putar di otaknya.
“Elisa, elo emang Elisa. Tapi kenapa?” Evan tertunduk lesu.
Elisa menjauhkan. Matanya berkaca-kaca, “Gue sayang sama elo, Van! Tapi gue sadar cinta ini terlarang! Kita berasal dari dunia berbeda. Kita nggak bisa hidup bersama.”
“Nggak, kita bisa! Elo liat film Twilight? Semula gue nggak percaya itu nyata, tapi sekarang gue yakin kalau itu memang ada. Dan kita... kita bisa bersama! Karena gue juga sayang sama elo. Gue cinta sama makhluk apapun elo.”
“Sayangnya ini bukan film,” Elisa mencoba tenang. Dia mendekat, merunduk setengah berdiri di depan Evan. “Udah waktunya! Biarin gue melakukan apa yang harus gue lakuin. Ini demi keselamatan kita semua.”
“Elo mau ngapain?”
Elisa tidak menjawab. Dia meraih leher Evan, “Biarkan gue merasakan cinta yang mengalir di darah elo. Dan setelah itu... elo akan melupakan semua tentang gue!”
Elisa menancapkan taringnya ke leher Evan. Merasakan setiap tetesan darah Evan. Dia tidak membiarkan Evan menghentikannya, walaupun dia tahu Evan meronta kesakitan. Air matanya menetes.
“Nggak Lis, gue nggak mau ngelupain elo!” kata Evan lirih. Tubuhnya lemah. Pandangannya mulai samar. Lalu berubah menjadi gelap. Sudah cukup banyak darahnya yang terhisap. Di sisa tenaganya dia berbisik, “Gue sayang elo, Elisa. Walaupun elo seorang vampir.” katanya. Evan terkulai lemah, tidak berdaya.
Air mata Elisa mengalir deras. Tapi dia belum selesai sampai semua tentangnya terhapus. Elisa terus menghisap darah Evan.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Evan benar-benar melupakan Elisa. Begitu juga teman sekelas dan orang-orang yang pernah berhubungan dengan Elisa. Seolah-olah tidak pernah ada cewek bernama Elisa yang masuk ke kehidupan mereka.

oOo THE END oOo

No comments:

Seseorang di kepalaku

Jangan, jangan pergi. Enggak, aku harus pergi. Jangan, kalau aku kesana aku bakal jadi bahan omongan. Ayolah enggak bakal ada yang ...