Friday, February 5, 2016

Peramal Kelas A


Hal yang paling menyebalkan adalah pergi ke kantin saat jam istirahat. Kalau bukan karena Amel –pacarku– yang ngajak ketemuan, huh... aku males jalan kesana. Mending ke perpustakaan atau ke lapangan main futsal sama anak-anak.
“Eh, sayang,” kata Amel mulai curhat, “Tau gak, masa’ si peramal bilang kita bakal putus gara-gara kamu suka sama cewek lain. Nyebelin gak sih?”
“Si peramal siapa?” jawabku setengah cuek. Kunikmati saja bakso bu kantin sambil mendengarkan mulutnya mengoceh.
“Itu loh, anak indigo yang pernah aku ceritain itu. Masa’ kamu lupa sih?” Amel memonyongkan bibirnya.
Dari sejuta ocehannya, mungkin yang masuk ke ingatanku cuman seputar pelajaran, film dan hobby shoppingnya. Aku mengangguk pura-pura ingat. Bakso bu kantin lebih menarik perhatianku daripada ceritanya tentang si peramal itu.
“Kamu dengerin aku gak sih?”
“Huh? Ya, denger sih. Tapi disini kan rame, jadi agak kurang jelas gitu!”
Mulut Amel semakin monyong. Dia kelihatan kesal, kayak kambing yang mau disembelih. Aku tersenyum melihatnya. Mungkin ini yang kusuka darinya. Caranya mengekspresikan kekesalannya itu begitu lucu dimataku. Bukannya mengumpat tapi memonyongkan bibirnya seperti platipus. Hahaha... pipinya yang menggembung membuat wajah chubbynya semakin menggemaskan. Kucubit pipi bakpao itu sampai Amel mengeluarkan suara manjanya.
“Jadi kamu percaya?” kataku menanggapi.
“Enggak lah! Dia kan anak aneh yang lebih suka ngomong sendiri. Apa semua anak indigo kayak gitu ya?” kata Amel, menyeruput kuah baksoku.
“Mungkin. Aku gak pernah punya temen anak indigo.”
“Tapi nih ya, apa yang keluar dari mulutnya itu beneran terjadi loh sayang!” wajah Amel mulai serius, “Kemarin dia ngomong gini ke bu Janet, ‘Ibu jangan ke kamar mandi, nanti ibu jatuh!’ dan kamu tau sendiri kan apa yang terjadi sama bu Janet selanjutnya?”
“Oh, yang kejadian bu Janet jatuh di kamar mandi kemarin? Itu kan emang karena lantainya licin.” Aku masih menikmati bakso bu kantin.
“Iya, sayang. Maksud aku, kejadian itu terjadi setelah si peramal itu ngomong gitu! Ih, kamu masa’ gak sadar? Katanya anak paling pinter di sekolah?” Amel memonyongkan mulutnya lagi. Kupelintir pipinya sampai merah. Amel menggosoknya, membuatnya tambah merah.
“Kamu suka banget nyubitin pipi aku?” katanya manja.
“Habis kamu lucu! Kayak panda pake blash on. Hahaha...”
“Ih, gak lucu!” balasnya kesal, “Oh ya, ntar pulang sekolah Sisca ngajakin shopping. Katanya ada diskon gitu di butik kenalan mamanya. Boleh ya?”
“Terus aku pulang sama siapa?”
“Maaf!” matanya memelas.
“Iya, iya!” Aku mengangguk pelan, luluh dengan tatapan lembutnya.
Dan beginiliah akhirnya, aku pulang sendirian. Siang yang panas identik dengan polusi yang meningkat. Bisingnya suara kendaran yang lalu lalang memenuhi rongga telingaku. Kemacetan sudah menjadi bumbu wajib semua jalan di ibukota. Tidak ada yang bisa aku ajak bicara kecuali komik dan lagu dari hape-ku.
Mendadak perasaanku menjadi aneh. Seperti ada mata yang sedang menatapku. Aku menoleh, mencari si pemilik mata itu. Kupicingkan mataku, menerka siapa yang sedang mengawasiku. Di kejauhan hanya ada cewek berseragam SMA-ku. Aku yakin bukan dia. Kulanjutkan langkahku dengan lebih waspada.
Halte tempatku menunggu metromini masih jauh. Kupercepat langkahku. Seseorang itu, walaupun hanya perasaanku saja, orang yang mengikutiku itu juga mempercepat langkahnya. Aku berhenti mendadak dan secepatnya menoleh. Tapi tidak ada siapa-siapa disana. Kuputar pandanganku 360 derajat, ke segala arah yang bisa dijangkau. Orang mencurigakan itu tidak ada.
Aku berjalan dengan waspada. Kekecilkan volume hape-ku dan berpura-pura membaca. Syukurlah ada pertigaan, aku berbelok. Bersembunyi di balik tembok, menunggu orang itu lewat. Kudengar suara kaki yang berat terdengar.
SSSRREEETTT... kusergap orang itu sekuat tenaga. Pria berbadan besar dengan perut segede gentong. Tanganku kuwalahan menanganinya. Orang itu terus meronta sampai aku melepaskannya. Matanya melotot kearahku.
“Lo cari ribut sama gue?” suara pria itu serak-serak mengerikan.
“Abang duluan yang ngikutin gue tadi, ya kan?” balasku setengah membentak.
“Lo kira gue penguntit goblok maniak seks sesama jenis, huh? GAK ADA UNTUNGNYA GUE NGUNTIT LO, KEPALA KADAL!” bentak pria itu tidak kalah sadis.
“Jadi bukan abang yang ngikutin gue tadi?”
“MENURUT LO?????” matanya menusukku. Aku kalah, KO.
“Ya, ya, ya soriii... bbaaaanngg! Abang sih tadi lewat sini, kan gue mau sergap tuh orang, hehehe...”
“Maksud lo gue gak boleh lewat sini, huh?” pria itu menarik kerah bajuku.
“Eng... Enggak bang! Bukan gitu bang!” aku melepasnya pelan-pelan, “Aduh! Gini bang pokoknya gue minta maaf ya bang, salah orang!” aku langsung kabur.
Pria itu mengejarku. Dasarnya gajah gak bisa lari cepet dibanding kijang, dia berhenti dan hanya mengumpatku dari jauh. Aku meliriknya dari kaca mobil yang parkir di pinggir jalan. Kutemukan orang itu. Orang yang menguntitku. Seketika kuhentikan langkahku dan berbalik. Mencari orang yang ada di kaca mobil tadi. Dia hialng. Kuperiksan berkali-kali, orang itu tidak ada. Dia hilang seperti hantu. Semua bulu di tubuhku tiba-tiba berdiri. Cepat-cepat aku ke halte, menunggu metromini sambil terus waspada.
Bus orange itu pun datang, aku naik berebut dengan penumpang lain. Aku harap dia tidak lagi mengikutiku melihat betapa padatnya penumpang metromin ini. Saat kakiku melangkah di tangga bus, tiba-tiba seseorang menarikku. Sial, apa aku tertangkap? Tidak! Dia melepaskan aku sesaat sebelum aku jatuh. Aku bangkit, mencari orang itu. Kali ini tidak akan kulepaskan dia. Tapi siapa? Yang mana orangnya?
Kuputar mataku ke segala arah. Kutemukan cewek dengan seragam SMA yang kulihat tadi. Dia menatapku. Apakah dia orangnya? Entah kenapa perasaanku jadi kacau, nyaliku jadi ciut. Melihat matanya yang tajam membuatku ingin pergi dari sana. Akupun berlari menjauh. Kuambil handphone dan menghubungi Amel. Tiba-tiba...
TIINNN TINNNN.... Klakson pick up lima meter dari tempatku berdiri menyadarkanku. Jantungku berhenti berdetak. Tubuhku tidak bisa bergerak. Kulihat sopir pick up itu melambaikan tangannya, menyuruhku minggir. Sekuat tenaga dia mengendalikan mobilnya. Menatapku seolah tidak ada harapan. Seketika waktu berhenti. Aku mematung melihat pick up  itu berputar-putar. Decitan remnya mengaburkan pendengaranku.
CCCIIIITTT... pick up itu berhenti tidak jauh dari tempatku.
“ADUH!” rintih cewek berseragam SMA yang kulihat tadi. Dia terpelanting mengenai badan pick up, jatuh di depanku. Lengannya tergores, kakinya berdarah. Dia meraba-raba badan jalan sambil memicingkan mata, mencari kacamatanya.
“Eh, nak! Kalo nyebrang liat kanan kiri dulu!” bentak pria di dalam mobil tadi.
“I... Iya pak, maaf!” balasku tanpa melihat orang itu. Mataku masih tertuju pada cewek itu. Si penguntit yang membuatku ketakutan.
“Huh, dasar anak jaman sekarang!” bapak itu pergi sambil mengoceh.
Kuambil kacamata cewek itu. Lensa kanannya pecah, tinggal frame hitam dan lensa kiri yang retak. Kuberikan padanya. Dia tersenyum lega, menatapku dengan cara yang berbeda. Kurasakan kehangatan dan kelembutan dari matanya. Cewek itu bangkit, meratapi kacamatanya yang pecah.
“Lo yang ngikutin gue tadi!” tuduhku tanpa basa-basi, “Kenapa lo ngikutin gue?”
“Eh? Itu karena gue ngeliat lo berdarah,” katanya, “Lo... lo pasti gak percaya, kan? Makanya gue ikutin lo. Dan saat gue liat metromini tadi, gue liat metromini itu hancur. Maaf karena buat lo gak nyaman. Tapi sekarang gue lega karena lo udah tau soal ini. Gue harap lo lebih hati-hati lagi. Sekali lagi maaf!” cewek itu pergi.
“Tunggu!” cegahku. Dia berbalik, menunjukkan wajah penasarannya. Sebelum sempat aku melanjutkan kata-kataku handphone-ku bunyi, Amel yang telepon.
“Sayang, ada apa? Kamu baik-baik aja kan? Tadi anak tante pemilik butik bilang ada kecelakan metromini di jalan. Katanya parah banget, gak ada penumpang yang selamat. Aku takut kamu kenapa-napa.”
“Ya! Aku gak kenapa-napa kok, tenang aja!”
“Syukur deh kalau gitu! Tadi kenapa nelpon aku?”
“Enggak, aku pikir ada orang iseng lagi ngikutin aku. Yaudah, lanjutin shoppingnya! Bye!” aku menutup teleponnya, tanpa berhenti menatap cewek itu.
“Siapa nama lo?”
“Miranda...” dia tersipu, “...peramal kelas A!”
Kurasakan angin yang berhembus dari belakangku. Kudengar nyanyian burung yang seolah menenggelamkan suara bising jalanan ibukota. Kumasukkan udara yang sama dengan yang dia hirup ke dalam paru-paruku. Detak jantung ini dan perasaan ini, aliran darah yang mengalir dari jantung ke seluruh tubuhku. Aku terus menatapnya, mengingat-ingat namanya. Si peramal kelas A, diakah orang yang memberitahu Amel kalau kami akan putus? Kalau iya, mungkin yang dikatakannya benar.

~ E N D ~

No comments:

Seseorang di kepalaku

Jangan, jangan pergi. Enggak, aku harus pergi. Jangan, kalau aku kesana aku bakal jadi bahan omongan. Ayolah enggak bakal ada yang ...