Duduk di bukit kecil, menghadap cakrawala
ditemani angin sepoi di sore hari membuat pikiranku fresh, seperti bayi yang
baru lahir. Hamparan sawah dengan warnanya yang indah, hijau dan hiasan coklat
dari ilalang gajah. Hutan kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar menghalangi
pandanganku untuk lebih jauh menikmati ciptaan Tuhan ini. Cicitan burung kecil
menghantui telingaku, membuatku lupa kalau aku masih hidup.
Tiba-tiba, sesuatu membuyarkan lamunanku. Sesuatu
yang lebih indah, yang memaksa masuk ke rongga-rongga telingaku. Aku
memperhatikannya lebih dekat. Mendengarkan setiap melody yang tersamar di
antara riuhnya daun yang bergesekan. Aku menangkapnya. Keindahan melody yang berasal
dari gesekan benda indah berwarna coklat.
‘Dia bukan orang sini, kan?’ tanyaku dalam hati,
melihat penampilannya yang lebih modern. Wajahnya secantik melody yang
dimainkannya. Rambutnya berkibar mengikuti angin, mengusik rasa penasaranku.
Cewek itu menghentikan permainannya, mengetahui
keberadaanku, memandangku seolah aku penguntit terkejam di dunia.
“Hai?” sapaku seramah mungkin.
Cewek itu tidak menjawab. Matanya berkedip
beberapa kali, mematung melihatku. Apakah dia terpesona denganku? Hahaha... aku
tidak setampan itu, kan?
“Gue Boy, dari Jakarta” kataku.
Cewek itu bergerak. Bukan untuk menanggapi sapaan
hangatku, tetapi untuk menyimpan biolanya dan pergi. Dia kabur setelah
melihatku. Tunggu! Apa ketampananku sangat menakutkan? Aku diam, melihatnya
berlari melewati pematang sawah dan hilang dibalik bukit.
***
Namanya kedung maor, dekat dengan rumah nenekku.
Terletak di desa kecil yang belum terjamah alay-alay tukang selfie. Cewek itu
muncul lagi. Di atas tebing setinggi 4 meter. Cewek itu duduk sambil memainkan
biolanya, sendirian.
“Lo kenal cewek itu?” kutanyakan pada sepupuku.
“Ora, ora ngerti aku!” jawabnya dengan
logat jawa khas Bojonegoro.
Aku memperhatikannya. Cewek itu masih memainkan
lagu yang sama, irama klasik yang pernah kudengar sebelumnya. Matanya terpejam
menikmati melody yang keluar dari gesekan lembutnya. Aku terus
memperhatikannya. Keberadaannya yang lebih indah dari alam disekitarnya. Mataku
tidak bisa lepas darinya, seperti ada magnet yang keluar dari wajah lembutnya.
Membuat cewek itu tampak lebih indah dan mempesona. Apakah ini karena melody
yang dimainkannya? Ataukah hanya delusi pikiran yang muncul sesaat?
Mendadak melody itu hilang. Dia melihatku,
terusik akan keberadaanku. ‘Oh, tidak!’ Cewek itu melakukannya lagi. Cepat-cepat
memasukkan biolanya dan pergi. ‘Tidak! Jangan pergi!’ Aku berlari mengejarnya.
Menaiki satu persatu anak tangga yang hampir tidak terlihat. ‘Kumohon, jangan
pergi!’ Mataku memandang ke segala arah mencari keberadaannya. Kamu dimana? Aku
tidak ingin kehilangan dia untuk kedua kalinya.
***
Ditemani garis orange yang mulai tampak, aku
menunggu cewek itu di atas bukit. Ditempat pertama kali kami bertemu. Dia tidak
datang. Suara indah dari biolanya tidak terdengar. Aroma manis dari tubuhnya
tidak tercium. Sepi, tidak ada siapa-siapa selain aku.
Kuputuskan pergi dari tempat itu. Sekali lagi
mencoba menunggunya. Di kedung maor, tempat kedua kami saling pandang. Lama
sekali aku menunggunya, duduk di batu besar tempatnya bermain biola tempo hari.
Dia tidak datang. Sepi, hanya aku sendiri. Tubuhku lelah menanti dirinya. Kupikir
aku mulai merindukannya. Aku ingin mendengar melody indah dari biolanya dan
melihat wajah manisnya.
Besok adalah hari terakhirku di Bojonegoro. Aku
ingin bertemu dengan cewek itu. Mataku terjaga sampai tengah malam. Sepupuku yang
sudah bermimpi sampai ke Eropa pun bangun, menemaniku menikmati bintang
terakhir di desa.
“Kowe masih
kepikiran arek wedok ndek Kedung Maor kae to, Boy?”
Aku mengangguk, mengerti setengah dari bahasanya.
“Hahaha... Boy Boy! Kedung Maor iku
angker. Paling arek iku setan, hiii... wes ojo dipikir nemen-nemen!”
dia tertawa.
“Berisik lo!” bentakku kesal. Kupukul kepalanya
yang botak.
“Yaelah, ngunu ae ngamuk. Koyok
arek wedok ae,” dia memukulku balik. Kami tertawa hampir bersamaan. Kalaupun
benar yang sepupuku katakan kalau cewek itu cuman hantu, aku tidak peduli. Aku
hanya ingin bertemu dengannya sekali lagi, sebelum aku kembali ke Jakarta.
Paginya aku datang lagi. Ketempat pertama kali
bertemu dengannya. Bukit kecil yang ternyata lebih indah dengan udara dan
tetesan embun di pagi hari. Tanpa sinar orange, hanya langit biru yang
membentang luas. Pasti akan lebih indah jika irama dari biola klasik itu masuk
ke telingaku lagi. Tapi... ah sudahlah! Cewek tanpa nama itu pasti tidak datang.
Tiba-tiba melody itu muncul, tak lama setelah kupejamkan
mataku. Samar-samar kudengar iramanya, bersahutan dengan burung-burung yang
seakan mengiringinya. Nada yang sama, mengalun bagai tetesan embun. Semakin
jelas, melody itu terdengar semakin jelas. Masuk ke telingaku, mengalir di
setiap tetes darahku, lalu berhenti di jantung. Membuatnya berdetak seratus
kali lebih cepat. Hatiku pun berdebar seperti deru mobil yang sedang melaju di
sirkuit.
Kubuka mataku perlahan, mencari keberadaannya.
Cewek itu ada di sana, di tempat yang sama saat aku pertama kali melihatnya.
Dia memainkan biolanya dengan indah. Tiba-tiba dia berhenti, melody itu hilang.
Dia menatapku, masih memegang biolanya. Tidak bergerak, terkejut melihatku ada
disana.
“Kenapa
berhenti?” tanyaku.
Tanpa menjawab, cewek itu memasukkan biolanya ke
tas. Dia pergi, lagi. Secepat kilat aku menyambar tangannya, membuatnya
berhenti lalu berbalik ke hadapanku. Matanya bergetar melihat ke arah lain.
“Hei, gue bukan orang jahat kok!” aku
meyakinkannya, “Sorry kalau selama ini gue ngebuat lo takut!”
Dia diam, menatapku curiga. Jari-jarinya
bergerak, membentuk suatu pola yang tidak kumengerti apa maksudnya. Cewek itu
menggeleng, kecewa. Jari-jarinya bergerak lagi kemudian dia berbalik, bermaksud
untuk pergi.
“Tunggu!” kuraih tangannya, “Sebenernya gue suka sama
permainan lo. Itu keren banget!” aku menaikkan kedua jempolku padanya.
Cewek itu menunjukkan kedua jempolnya juga,
menggerakkannya ke atas dan kebawah. Aku tidak mengerti apa artinya, tapi aku
juga ikut melakukannya. Cewek itu menggeleng, lalu mengambil ranting kecil dan
menuliskan sesuatu di tanah. MAKASIH.
Kuambil ranting yang lain, menuliskan balasan di
atas tulisannya. YA, SAMA-SAMA.
Cewek itu menatapku, menjauhkan dirinya secara perlahan.
Raut wajahnya berubah.
“A... ada apa?” aku menarik tangannya,
mencegahnya untuk kabur lagi.
“Apa lo gak mau ngomong sesuatu ke gue?” kataku.
Cewek itu diam, menunduk. Menuliskan sesuatu. MAAF.
Aku menatapnya. Mata kami bertemu. Lalu cewek itu memegang bibirnya lalu
menggeleng. Mulutnya bergerak mengatakan sesuatu tanpa suara, “Maaf!”
“Oh,” itulah bisa kukatakan. Agak mengejutkan
memang, tapi aku senang. Mengingat nada yang dimainkannya membuatku lupa akan
kekurangan itu. Aku merasakan bibirku mengembang, memberinya sebuah senyuman
terindah yang pernah kubuat.
“Ntar sore gue balik ke Jakarta. Di liburan
selanjutnya, apa kita masih bisa ketemu? Gue pengen denger suara biola lo lagi. Mungkin disini, kita bisa ketemu di bukit ini tanpa lo harus
ketakutan kayak waktu itu.”
Cewek itu merunduk, menulis sesuatu di tanah. ROSSA.
Dia menatapku lebih lama. Jari-jarinya bergerak, membuat isyarat yang aku tidak
tahu apa artinya. Dia tersenyum sebentar lalu pergi. Aku tidak bisa mencegahnya
lagi. Isyarat itu mengacaukan pikiranku. Apa artinya itu? Apakah kita bisa
bertemu lagi?
Cewek itu menghentikan langkahnya. Berdiri jauh
disana, menatapku. Membuat jantungku berdegup kencang. Jemarinya membuat
isyarat itu lagi, berulang-ulang. Kupikir itu artinya ‘Ya, kita akan bertemu
lagi’. Mungkin begitu.
“ROSSA!” aku berteriak, “GUE TUNGGU DISINI!”
Cewek itu tersenyum, tanpa membalas apa-apa. Dia
hanya tersenyum. Hmmm, balasan yang indah. Seperti melody dari biola yang
dimainkannya. Melody yang samar yang menggetarkan hatiku.
~E.N.D~
No comments:
Post a Comment