Saturday, February 27, 2016

Melody Yang Samar


Duduk di bukit kecil, menghadap cakrawala ditemani angin sepoi di sore hari membuat pikiranku fresh, seperti bayi yang baru lahir. Hamparan sawah dengan warnanya yang indah, hijau dan hiasan coklat dari ilalang gajah. Hutan kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar menghalangi pandanganku untuk lebih jauh menikmati ciptaan Tuhan ini. Cicitan burung kecil menghantui telingaku, membuatku lupa kalau aku masih hidup.
Tiba-tiba, sesuatu membuyarkan lamunanku. Sesuatu yang lebih indah, yang memaksa masuk ke rongga-rongga telingaku. Aku memperhatikannya lebih dekat. Mendengarkan setiap melody yang tersamar di antara riuhnya daun yang bergesekan. Aku menangkapnya. Keindahan melody yang berasal dari gesekan benda indah berwarna coklat.
‘Dia bukan orang sini, kan?’ tanyaku dalam hati, melihat penampilannya yang lebih modern. Wajahnya secantik melody yang dimainkannya. Rambutnya berkibar mengikuti angin, mengusik rasa penasaranku.
Cewek itu menghentikan permainannya, mengetahui keberadaanku, memandangku seolah aku penguntit terkejam di dunia.
“Hai?” sapaku seramah mungkin.
Cewek itu tidak menjawab. Matanya berkedip beberapa kali, mematung melihatku. Apakah dia terpesona denganku? Hahaha... aku tidak setampan itu, kan?
“Gue Boy, dari Jakarta” kataku.
Cewek itu bergerak. Bukan untuk menanggapi sapaan hangatku, tetapi untuk menyimpan biolanya dan pergi. Dia kabur setelah melihatku. Tunggu! Apa ketampananku sangat menakutkan? Aku diam, melihatnya berlari melewati pematang sawah dan hilang dibalik bukit.
***
Namanya kedung maor, dekat dengan rumah nenekku. Terletak di desa kecil yang belum terjamah alay-alay tukang selfie. Cewek itu muncul lagi. Di atas tebing setinggi 4 meter. Cewek itu duduk sambil memainkan biolanya, sendirian.
“Lo kenal cewek itu?” kutanyakan pada sepupuku.
Ora, ora ngerti aku!” jawabnya dengan logat jawa khas Bojonegoro.
Aku memperhatikannya. Cewek itu masih memainkan lagu yang sama, irama klasik yang pernah kudengar sebelumnya. Matanya terpejam menikmati melody yang keluar dari gesekan lembutnya. Aku terus memperhatikannya. Keberadaannya yang lebih indah dari alam disekitarnya. Mataku tidak bisa lepas darinya, seperti ada magnet yang keluar dari wajah lembutnya. Membuat cewek itu tampak lebih indah dan mempesona. Apakah ini karena melody yang dimainkannya? Ataukah hanya delusi pikiran yang muncul sesaat?
Mendadak melody itu hilang. Dia melihatku, terusik akan keberadaanku. ‘Oh, tidak!’ Cewek itu melakukannya lagi. Cepat-cepat memasukkan biolanya dan pergi. ‘Tidak! Jangan pergi!’ Aku berlari mengejarnya. Menaiki satu persatu anak tangga yang hampir tidak terlihat. ‘Kumohon, jangan pergi!’ Mataku memandang ke segala arah mencari keberadaannya. Kamu dimana? Aku tidak ingin kehilangan dia untuk kedua kalinya.
***
Ditemani garis orange yang mulai tampak, aku menunggu cewek itu di atas bukit. Ditempat pertama kali kami bertemu. Dia tidak datang. Suara indah dari biolanya tidak terdengar. Aroma manis dari tubuhnya tidak tercium. Sepi, tidak ada siapa-siapa selain aku.
Kuputuskan pergi dari tempat itu. Sekali lagi mencoba menunggunya. Di kedung maor, tempat kedua kami saling pandang. Lama sekali aku menunggunya, duduk di batu besar tempatnya bermain biola tempo hari. Dia tidak datang. Sepi, hanya aku sendiri. Tubuhku lelah menanti dirinya. Kupikir aku mulai merindukannya. Aku ingin mendengar melody indah dari biolanya dan melihat wajah manisnya.
Besok adalah hari terakhirku di Bojonegoro. Aku ingin bertemu dengan cewek itu. Mataku terjaga sampai tengah malam. Sepupuku yang sudah bermimpi sampai ke Eropa pun bangun, menemaniku menikmati bintang terakhir di desa.
Kowe  masih kepikiran arek wedok ndek Kedung Maor kae to, Boy?”
Aku mengangguk, mengerti setengah dari bahasanya.
“Hahaha... Boy Boy! Kedung Maor iku angker. Paling arek iku setan, hiii... wes ojo dipikir nemen-nemen!” dia tertawa.
“Berisik lo!” bentakku kesal. Kupukul kepalanya yang botak.
“Yaelah, ngunu ae ngamuk. Koyok arek wedok ae,” dia memukulku balik. Kami tertawa hampir bersamaan. Kalaupun benar yang sepupuku katakan kalau cewek itu cuman hantu, aku tidak peduli. Aku hanya ingin bertemu dengannya sekali lagi, sebelum aku kembali ke Jakarta.
Paginya aku datang lagi. Ketempat pertama kali bertemu dengannya. Bukit kecil yang ternyata lebih indah dengan udara dan tetesan embun di pagi hari. Tanpa sinar orange, hanya langit biru yang membentang luas. Pasti akan lebih indah jika irama dari biola klasik itu masuk ke telingaku lagi. Tapi... ah sudahlah! Cewek tanpa nama itu pasti tidak datang.
Tiba-tiba melody itu muncul, tak lama setelah kupejamkan mataku. Samar-samar kudengar iramanya, bersahutan dengan burung-burung yang seakan mengiringinya. Nada yang sama, mengalun bagai tetesan embun. Semakin jelas, melody itu terdengar semakin jelas. Masuk ke telingaku, mengalir di setiap tetes darahku, lalu berhenti di jantung. Membuatnya berdetak seratus kali lebih cepat. Hatiku pun berdebar seperti deru mobil yang sedang melaju di sirkuit.
Kubuka mataku perlahan, mencari keberadaannya. Cewek itu ada di sana, di tempat yang sama saat aku pertama kali melihatnya. Dia memainkan biolanya dengan indah. Tiba-tiba dia berhenti, melody itu hilang. Dia menatapku, masih memegang biolanya. Tidak bergerak, terkejut melihatku ada disana.
 “Kenapa berhenti?” tanyaku.
Tanpa menjawab, cewek itu memasukkan biolanya ke tas. Dia pergi, lagi. Secepat kilat aku menyambar tangannya, membuatnya berhenti lalu berbalik ke hadapanku. Matanya bergetar melihat ke arah lain.
“Hei, gue bukan orang jahat kok!” aku meyakinkannya, “Sorry kalau selama ini gue ngebuat lo takut!”
Dia diam, menatapku curiga. Jari-jarinya bergerak, membentuk suatu pola yang tidak kumengerti apa maksudnya. Cewek itu menggeleng, kecewa. Jari-jarinya bergerak lagi kemudian dia berbalik, bermaksud untuk pergi.
“Tunggu!” kuraih tangannya, “Sebenernya gue suka sama permainan lo. Itu keren banget!” aku menaikkan kedua jempolku padanya.
Cewek itu menunjukkan kedua jempolnya juga, menggerakkannya ke atas dan kebawah. Aku tidak mengerti apa artinya, tapi aku juga ikut melakukannya. Cewek itu menggeleng, lalu mengambil ranting kecil dan menuliskan sesuatu di tanah. MAKASIH.
Kuambil ranting yang lain, menuliskan balasan di atas tulisannya. YA, SAMA-SAMA.
Cewek itu menatapku, menjauhkan dirinya secara perlahan. Raut wajahnya berubah.
“A... ada apa?” aku menarik tangannya, mencegahnya untuk kabur lagi.
“Apa lo gak mau ngomong sesuatu ke gue?” kataku.
Cewek itu diam, menunduk. Menuliskan sesuatu. MAAF. Aku menatapnya. Mata kami bertemu. Lalu cewek itu memegang bibirnya lalu menggeleng. Mulutnya bergerak mengatakan sesuatu tanpa suara, “Maaf!”
“Oh,” itulah bisa kukatakan. Agak mengejutkan memang, tapi aku senang. Mengingat nada yang dimainkannya membuatku lupa akan kekurangan itu. Aku merasakan bibirku mengembang, memberinya sebuah senyuman terindah yang pernah kubuat.
“Ntar sore gue balik ke Jakarta. Di liburan selanjutnya, apa kita masih bisa ketemu? Gue pengen denger suara biola lo lagi. Mungkin disini, kita bisa ketemu di bukit ini tanpa lo harus ketakutan kayak waktu itu.”
Cewek itu merunduk, menulis sesuatu di tanah. ROSSA. Dia menatapku lebih lama. Jari-jarinya bergerak, membuat isyarat yang aku tidak tahu apa artinya. Dia tersenyum sebentar lalu pergi. Aku tidak bisa mencegahnya lagi. Isyarat itu mengacaukan pikiranku. Apa artinya itu? Apakah kita bisa bertemu lagi?
Cewek itu menghentikan langkahnya. Berdiri jauh disana, menatapku. Membuat jantungku berdegup kencang. Jemarinya membuat isyarat itu lagi, berulang-ulang. Kupikir itu artinya ‘Ya, kita akan bertemu lagi’. Mungkin begitu.
“ROSSA!” aku berteriak, “GUE TUNGGU DISINI!”
Cewek itu tersenyum, tanpa membalas apa-apa. Dia hanya tersenyum. Hmmm, balasan yang indah. Seperti melody dari biola yang dimainkannya. Melody yang samar yang menggetarkan hatiku.

~E.N.D~

No comments:

Seseorang di kepalaku

Jangan, jangan pergi. Enggak, aku harus pergi. Jangan, kalau aku kesana aku bakal jadi bahan omongan. Ayolah enggak bakal ada yang ...