Monday, March 10, 2014

Cerpen - Supir Angkot Merah Tua


Hujan mulai turun. Saila melambaikan tangannya, menghentikan angkot merah yang sudah jarang lewat. Tanpa ragu-ragu Saila masuk, duduk di kursi depan dekat supir. Saat ditoleh kebelakang, ada seorang laki-laki tua membawa pacul dan memakai caping, semacam topi untuk bertani. 

“Mau kemana mbak?” tanya bapak supir ramah. Sebuah handuk kecil menempel di pundaknya. Keringatnya bercucuran padahal saat itu hujan menusuk sangat dingin.


“Kalianyar pak!” jawab Saila singkat.

Pak supir melajukan angkotnya pelan.

“Berhenti pak!” kata laki-laki tua di belakang. Dengan segera pak supir menginjak rem.

Setelah proses pembayaran selesai, beliau menjalankan angkotnya kembali.

Hujan terus berdatangan semakin deras. Hawa dingin menusuk lebih tajam. Kaca jendela dan pintu angkot yang semula dibiarkan terbuka, ditutup. 

“Sepi ya pak?” tanyaku mencairkan susasana.

“Iya mbak, banyak yang sudah punya motor.”

Saila menggut-manggut.

“Kok sekarang angkot kayak gini jarang lewat ya pak? Saya tadi nunggu lumayan lama loh?”

“Iya mbak, teman-teman banyak yang beralih profesi.”

“Kenapa pak?”

“Ya itu tadi mbak masalahnya. Banyak yang sudah punya motor, jadi jarang naik angkot. Penumpang sepi, penghasilan sedikit. Teman-teman supir yang lain jadi malas kerja dan lebih memilih jadi buruh atau ngojek.”

“Nasib juragan angkotnya gimana pak?”

“Bangkrut mbak.” Nada suara pak supir meninggi. “Tapi namanya juga juragan, tabungannya banyak. Usaha yang satu bangkrut, masih ada usaha yang lain.”

“Kenapa bapak masih bertahan jadi supir? Nggak ikut teman-teman bapak yang lain?”

Pak supir terdiam. Menyeka wajahnya yang berkeringat. Mata yang masih fokus itu berkaca-kaca. Sebelum sempat air matanya keluar, beliau menyekanya.

“Bapak masih kasihan mbak. Sama orang-orang kayak bapak tua tadi.” Sambung pak supir, “Sawah garapan mereka jauh. Sebelum ada angkot ini mereka jalan kaki ke jalan raya dulu baru nebeng truk yang lewat. Kalau saya nggak narik angkot lagi gimana nasib mereka dan sawahnya mbak? Naik ojek juga mahal.”

Saila terenyuh, tidak bisa berkomentar. Kepalanya mengangguk, memahami apa yang pak supir katakan. 

Di antara guyuran hujan yang mulai mereda, seorang ibu tua melambaikan tangan. Pak supir menginjak rem lalu menyuruhnya masuk.

“Mau kemana mak?” tanya pak supir ramah.

“Banyuasin pak!” jawab ibu tua itu lemah. Beliau memakai kaos bergambar gubernur Jawa Timur dan partainya. Wajahnya lusuh. Ada banyak noda lumpur di kakinya. Sedikit rerumutan liar menempel di celana. Tetapi ibu tua itu tidak menghiraukannya. Beliau sibuk dengan beberapa tetes peluh di wajahnya.

Tidak ada percakapan lagi. 

Jalananpun mulai berlubang. Saila merasakan pantanya berterbangan mengikuti alur lubang di jalan itu. Begitu juga pak supir dan ibu tua di belakang. Mereka tidak khawatir. Karena ada pak supir baik hati yang senantiasa menjaga keselamatan penumpangnya.

... The End  ...

No comments:

Seseorang di kepalaku

Jangan, jangan pergi. Enggak, aku harus pergi. Jangan, kalau aku kesana aku bakal jadi bahan omongan. Ayolah enggak bakal ada yang ...