Hujan mulai turun. Saila
melambaikan tangannya, menghentikan angkot merah yang sudah jarang lewat. Tanpa
ragu-ragu Saila masuk, duduk di kursi depan dekat supir. Saat ditoleh
kebelakang, ada seorang laki-laki tua membawa pacul dan memakai caping, semacam
topi untuk bertani.
“Mau kemana mbak?” tanya bapak
supir ramah. Sebuah handuk kecil menempel di pundaknya. Keringatnya bercucuran
padahal saat itu hujan menusuk sangat dingin.
“Kalianyar pak!” jawab Saila
singkat.
Pak supir melajukan angkotnya
pelan.
“Berhenti pak!” kata laki-laki
tua di belakang. Dengan segera pak supir menginjak rem.
Setelah proses pembayaran
selesai, beliau menjalankan angkotnya kembali.
Hujan terus berdatangan semakin
deras. Hawa dingin menusuk lebih tajam. Kaca jendela dan pintu angkot yang
semula dibiarkan terbuka, ditutup.
“Sepi ya pak?” tanyaku mencairkan
susasana.
“Iya mbak, banyak yang sudah
punya motor.”
Saila menggut-manggut.
“Kok sekarang angkot kayak gini
jarang lewat ya pak? Saya tadi nunggu lumayan lama loh?”
“Iya mbak, teman-teman banyak
yang beralih profesi.”
“Kenapa pak?”
“Ya itu tadi mbak masalahnya.
Banyak yang sudah punya motor, jadi jarang naik angkot. Penumpang sepi,
penghasilan sedikit. Teman-teman supir yang lain jadi malas kerja dan lebih
memilih jadi buruh atau ngojek.”
“Nasib juragan angkotnya gimana
pak?”
“Bangkrut mbak.” Nada suara pak
supir meninggi. “Tapi namanya juga juragan, tabungannya banyak. Usaha yang satu
bangkrut, masih ada usaha yang lain.”
“Kenapa bapak masih bertahan jadi
supir? Nggak ikut teman-teman bapak yang lain?”
Pak supir terdiam. Menyeka
wajahnya yang berkeringat. Mata yang masih fokus itu berkaca-kaca. Sebelum
sempat air matanya keluar, beliau menyekanya.
“Bapak masih kasihan mbak. Sama
orang-orang kayak bapak tua tadi.” Sambung pak supir, “Sawah garapan mereka
jauh. Sebelum ada angkot ini mereka jalan kaki ke jalan raya dulu baru nebeng
truk yang lewat. Kalau saya nggak narik angkot lagi gimana nasib mereka dan
sawahnya mbak? Naik ojek juga mahal.”
Saila terenyuh, tidak bisa
berkomentar. Kepalanya mengangguk, memahami apa yang pak supir katakan.
Di antara guyuran hujan yang
mulai mereda, seorang ibu tua melambaikan tangan. Pak supir menginjak rem lalu
menyuruhnya masuk.
“Mau kemana mak?” tanya pak supir
ramah.
“Banyuasin pak!” jawab ibu tua
itu lemah. Beliau memakai kaos bergambar gubernur Jawa Timur dan partainya.
Wajahnya lusuh. Ada banyak noda lumpur di kakinya. Sedikit rerumutan liar
menempel di celana. Tetapi ibu tua itu tidak menghiraukannya. Beliau sibuk
dengan beberapa tetes peluh di wajahnya.
Tidak ada percakapan lagi.
Jalananpun mulai berlubang. Saila merasakan pantanya berterbangan
mengikuti alur lubang di jalan itu. Begitu juga pak supir dan ibu tua di
belakang. Mereka tidak khawatir. Karena ada pak supir baik hati yang senantiasa
menjaga keselamatan penumpangnya.
... The End ...
No comments:
Post a Comment